Lakon
BILA MULA
Karya: JOKO SUCIANTO, SPd.
LAMPU PADAM, REMANG-REMANG. MUSIK, BERNYANYI, MENARI, MERAUNG-RAUNG DI TELINGA YANG TERLUKA. SEIRING TARIAN YANG BERINGSUT. SUNGGUH ADANYA TIDAK MENGADA-ADA. SEPERTI GELAP KE REMANG. SEPERTI REMANG KE TERANG. SEPERTI TERANG KEMBALU REMANG. SEPERTI REMANG KE KEGELAPAN YANG .MUTLAK
TELAK, TERBELALAK. MUNCUL ROMBONGAN ANAK-ANAK YANG BERMAIN-MAIN DENGAN MAINANNYA MASING-MASING BERPUTAR, BERSUARA, BEREBUT, TERTAWA, MENANGIS, DAN MENANGISI SESUATU
LAMPU PADAM
Untuk sejenak kedewasaan kita diuji
Seketika mata daging mengembara tak jauh dari pikiran yang terlalu sering terjejali kebiasa-kebiasaan hari. Ada ruang baru yang lahir dan menjadi naluri batin tak terbaca. Hal ini mungkin terjadi pada siapa saja karena dunia dan aktifitasnya sudah mulai membosankan. Lalu tubuh yang baku menjadi sebuah kemodernan yang melarat karena tubuh itu selalu saja dikosongkan.
Harapan adalah bantal untuk mimpi kita malam ini dan selanjutnya, tanpa adanya landasan-landasan moralis yang kukuh selain keduniawian. Kita sudah terlalu sering menjebak nurani pada suatu yang simbolik yang kolosal dan megah menancap di relung-reling kepenatan masing-masing. (kebodohan yang khas pada manusiaI). Secara lahiriyah fisik adalah tubuh baku yang sudah dilembagakan menurut fungsi masing-masing.
RUDD
Kita tak boleh berhenti. Bergeraklah, karena diam bisa mematikan. Rahasia pertama itu adalah gerak.
RIFF
Alat-alat tidak dapat bekerja sendiri.
Orang harus mengoperasikan dengan keringatnya
MEYY
Kebosanan yang didiamkan sama dengan waktu luang.
Sesuatu yang menipu dan membahayakan
RUDD
Kita tak boleh berhenti bergerak. Kecuali sekedar mengambil bekal dan beristirahat.
Hidup ini akan terus berdenyut dengan atau tanpa kita
RIFF
Para pekerja bukan lagi hamba sahaya
Mereka sekarang penduduk bebas
Bebas menjual dirinya kepada penawar paling tinggi
MEYY
Bagi yang memasuki lingkaran pertama dan menemui jalan buntu
Diminta untuk melacak jejak-jejaknya
Dalam kondisi ini ada esensi
Seseorang yang berdampingan pikiran dan perbuatan
TIBA-TIBA LAMPU PADAM
RUDD
Hey! Kenapa tiba-tiba gelap! Apa artimya mata tanpa cahaya
Gelap gulita
MEREKA BERPENCAR LAMPU MENYALA DI TEMPAT RUDD
RUDD
Jika aku telah berbuat salah dalam kata-kataku
Aku mohon jangan tinggalkan aku
Kalian tersesat? Hey…! Hey…!
LAMPU MENYALA DI TEMPAT MEYY
MEYY
Temanmu tidak tersesat
Juga tidak salah jalan
Tidak jatuh sakit. Atau kehilangan harapan
Jalannya dalam kecepatan
Semadi secara mendalam
LAMPU MENYALA DI TEMPAT RIFF
RIFF
Kini kapitalisme bekerja dengan pemerasan yang lebih modern dan rumit
MEYY
Ini adalah pusaran, yang bergerak dalam orbit
Bergerak, berputar, berbalik, berbelok kacau dan menjijikkan
RIFF
Kaum borjuis modern telah muncrat dari puing-puing masyarakat feodal
Ia melahirkan kelas baru
Syarat baru dalam penindasan
Bentuk baru dalam perjuangan
Ia menghancurkan kehendak religius
Kemunafikan kaum agamawan
MEYY
Alangkah panjang perjalanan yang singkat
Jika para penjelajah membuang-buang waktu
Campur tangan rute yang bukan hak mereka
Dan tak punya keteguhan hati
RUDD
Hiburlah jiwa kalian barang sesaat. Karena jiwa itu bisa sekarat
Seperti besi yang bisa sekarat
RIFF
Akal terus berkembang sepanjang sejarah, menuju tujuan yang absolute
Sejarah dunia adalah perkembangan dari kesadaran pada kemerdakaan
MEYY
Tujuan adalah sesuatu yang ditentukan di awal
Diwujudkan di akhir
Tempat memulai pikiran dan akhir dari sebuah perjalanan
RUDD
Semua orang tergesa pergi ke tujuan yang tidak dikenal
Dan nampaknya lebih penting dari Tuhan
RIFF MENGANGKAT TANGANNYA TINGGI-TINGGI
RIFF
Wahai para pekerja seluruh dunia bersatulah
Tangan terdiri dari lima jari yang disatukan
RUDD
Hey, lihat!
Ia mengepalkan tangannya. Dan lihatlah wajahnya. Lihat!
MEYY
Selagi aku di ambang pintu
Aku dengar kata-katamu
RUDD
Lihatlah!
Jangan kau rendahkan hatimu
RIFF ( mengepalkan tangannya )
Mereka akan menjadi Revolusioner bila mereka bersatu dengan kaum proletar
Cepat atau lambat, itu akan berubah mati-matian
Dan akan tiba pada Revolusi!
( bergerak dan bernyanyi penuh semangat )
Revolusi…revolusi…revolusi sampai mati
RUDD
Barangkali dengan bergerak akan melahirkan perubahan
( bergerak mengikuti Riff )
revolusi…revolusi…revolusi sampai mati…
MEYY
Jika kau bisa ikutilah orang merdeka
Sungguh orang merdeka di dunia ini hanya sedikit
RUDD ( berhenti dan nampak lagu-lagu mendekat ke tempat Meyy )
Apa pendapatmu tentang orang itu ?
MEYY
Dilihat dari tingkah dan gaya bicaranya, aku pikir aku tak tahu
RUDD
Siapapun kita. Apapun profesi kita, tidak bisa tidak, ini tak boleh ditawar
Tidak diijinkan berkata tidak tahu di sini!
MEYY
Jangan tanya siapa dia
Tanyalah siapa temannya
Sebab setiap orang selalu mencontoh yang ia temani
RUDD
Baiklah
Seperti dia aku juga tak tahu siapa kau
Apakh kau ini sahabatnya ?!
MEYY
Sahabat adalah penentu
Jangan tanya siapa aku
Tanyakanlah siapa sahabatku
Pasti kau tahu siapa diriku
RUDD
Ah, mempunyai seribu teman terasa kurang
Memiliki satu musuh terasa sesak
Ya maupun Tuhan
RIFF
Tuhan ada sebagai roh dunia
Yang ada adalh nyata
Karena rasional dan sebaliknya
RUDD
Tuhan Maha Besar. Mendekatlah padaNya
RIFF
Manusia yang membuat sejarah, bukan yang lain. Sejarah tidak berbuat apa-apa
Sejarah dibuat oleh manusia, bukan oleh takdir atau tangan Tuhan
RUDD
Tuhan Maha Besar
Mendekalah padaNya
RIFF ( Berteriak )
Terimakasuh Hegel ! Kau mengajari aku bahwa Tuhan yang baik tidak bermukim di surga. Seperti cerita nenek. Tapi aku sendiri. Di sini. Dapat menjadi Tuhan ( exit )
RUDD
Hey…
Hidup hanya sekali jangan salah pilih
Jadilah pemadam api keburukan
( exit )
MUNCUL ROMBONGAN EIGG DAN TISS
Wajah tirus penuh jelaga
Bergerak cepat, berhenti lalu
Seperti sedia kala mencoba mengecap keseharian
Merangkul kebias-biasaan dunia yang telah sesak akan rutinitas
Bergerak, jangan berhenti
Untuk sekadar mengambil bekal
Dan istirahat
MUNCUL ROMBONGAN ORANG-ORANG MEMAKAI JUBAH PUTIH
Dan kesemuanya itu di mata Tuhan adalah sama. Tuhan Maha Besar
Maka mendekatlah padaNya
Yakinlah pada hati
Bahwa Tuhan adalah ada
Sebagai roh dunia
Yang adalah nyata
Apa artinya mata tanpa cahaya
Lampu padam
Selesai
Kamis, 30 Juni 2011
LAKON BILA MALAM BERTAMBAH MALAM KARYA PUTU WIJAYA
LAKON
BILA MALAM BERTAMBAH MALAM
KARYA PUTU WIJAYA
BABAK I
MALAM DI TEMPAT KEDIAMAN GUSTI BIANG. SEBUAH BALE YANG DISEMPURNAKAN UNTUK TEMPAT TINGGAL.
GUSTI BIANG MEMANGGIL-MANGGIL WAYAN.
Adegan I
KELIHATAN NYOMAN SEDANG MENYIAPKAN MAKAN MALAM UNTUK GUSTI BIANG. SEMENTARA WAYAN MENGAMPELAS PATUNG. ORIGINAL SOUNTRACK: WAYAN .. Wayaaaaaan ....
NYOMAN MEMBERI ISYARAT KEPADA WAYAN.
NYOMAN
Benar Ida akan pulang hari ini?
WAYAN
Ya ....
Adegan II
DI RUANG DEPAN ADA KURSI GOYANG DAN KURSI TAMU. GUSTI BIANG NGOMEL TERUS.
GUSTI BIANG
Si tua itu tak pernah kelihatan kalau sedang dibutuhkan. Pasti ia sudah berbaring di kandangnya menembang seperti orang kasmaran pura-pura tidak mendengar, padahal aku sudah berteriak, sampai leherku patah. Wayaaaaan ..... Wayaaaaan tuaaaa.....
WAYAN
Nuna sugere GUSTI BIANG, kedengarannya seperti ada yang berteriak ................
GUSTI BIANG
Leherku sampai putus memanggilmu, telingamu masih kamu pakai tidak?
WAYAN
Tentu saja Gusti Biang, itu sebabnya tiyang datang .........
GUSTI BIANG
Jangan berbantah denganku. Kau sudah tua dan rabun, lubang telingamu sudah ditempati kutu busuk. Kau sudah tuli, malas dan suka berbantah, cuma bisa bergaul dengan si belang. Kau dengar itu kuping tuli?
WAYAN
Betul Gusti Biang.
WAYAN MENINGGALKAN RUANGAN DAN GUSTI BIANG TETAP DUDUK DAN MENGAMBIL JARUM. BERULANG-ULANG MENGGOSOK MATA SAMBIL MENGGERUTU.
Adegan III
GUSTI BIANG
Lubangnya terlalu kecil. Benangnya terlalu besar, sekarang ini serba terlampau. Terlampau tua, terlampau gila, terlampau kasar, terlampau begini, terlampau begitu. Sejak kemarin aku tidak berhasil memasukkan benang ini. Sekarang mataku berkunang-kunang. Oh, barangkali toko itu sudah menipu lagi. Atau aku terbalik memegang ujungnya? Wayaaaaan ...
NYOMAN (Muncul Dengan Baki Di Tangannya Dan Lampu Teplok)
Bagaimana Gusti Biang? Sudah sehat rasanya.
GUSTI BIANG TIDAK MENGHIRAUKAN DAN TETAP MEMASUKKAN BENANG KE JARUMNYA
NYOMAN
Gusti Biang, ini air daun belimbing, bubur ayam yang sengaja tiyang buatkan untuk Gusti.
(Melihat Kesulitan Gusti Biang)
Mari tiyang tolong.
GUSTI BIANG
Waaayaaaaan ...
(Kaget Karena Sentuhan)
Ulaaaaar......
NYOMAN
Ya ya kenapa Gusti terkejut ini kan Nyoman ....
GUSTI BIANG
Kau? Kau
TERBATUK
NYOMAN
Nah, itu sebabnya kalau belum santap malam. Apalagi sejak beberapa hari ini Gusti sudah tidak mau minum jamu lagi, minum sekarang ya?
GUSTI BIANG
Kau .. kau setan, kukira ular belang jatuh dari pohon, bikin sakit jantungku kumat lagi.
NYOMAN
GUSTI BIANG takut sekali dengan ular, kenapa?
GUSTI BIANG
Binatang itu menggigit dan menjijikkan.
NYOMAN
Tapi tidak semua ular berbahaya.
(Tersenyum)
Tiyang juga takut pada ular.
GUSTI BIANG
Aku tak perduli. Apa tugasmu di sini?
NYOMAN
Sekarang sudah saatnya Gusti Biang minum obat.
GUSTI BIANG
Hari ini aku tak mau minum obat.
NYOMAN
Oh ya, baik tiyang tolong dulu Gusti memasukkan benang ke jarumnya.
GUSTI BIANG
Juga tidak. Kau tidak diperlukan di sini
NYOMAN (Memungut jarum di lantai)
Coba dari tadi memanggil tiyang, tidak jadi kusut begini. Gusti Biang terlalu sayang pada Bape Wayan. Lihat gampang bukan?
GUSTI BIANG
Kau jangan menyindir aku, tentu saja semuanya bisa begitu. Aku juga bisa mengerjakannya, tapi lobangnya yang terlampau sempit.
NYOMAN
Terlampau sempit? Piih, semua jarum dibuat kecil Gusti, makin halus makin mahal harganya
TERSENYUM
GUSTI BIANG
Siapa bilang? Itu tak ada lobangnya sama sekali, toko itu menjual kawat utuh kepadaku. Setan alas.
NYOMAN
Tak percaya? Coba sekali lagi.
GUSTI BIANG
Jangan berlagak di sini
(Mengacungkan tongkat).
Ini bukan arje roras! Aku sudah bosan dibohongi dengan sulapan palsumu. Kau pikir aku tak bisa menguasai jarum kecil itu, piih, lakiku sendiri tak pernah menghina aku demikian ...
NYOMAN
Ambilah Gusti Biang. Gusti boleh menyulam sekarang
(Melihat lampu).
Tapi di sini terlalu gelap
(Membesarkan).
Nah, sekarang sudah cukup terang. Ambil Gusti.
GUSTI BIANG
Tidak! Kau mulai menyulap aku lagi, aku tak sudi menyentuh barang sihirmu. Suasana kotor sekarang.
NYOMAN
Kalau begitu, tiyang ikatkan saja ujung benang ini ke kainnya, nanti Gusti Biang meneruskannya saja.
GUSTI BIANG
Pergi! Pergi! Nanti kupanggilkan Wayan supaya kau diusir ....
(NYOMAN TIDAK PERDULI, MENERUSKAN SULAMAN SAMBIL BERNYANYI KECIL)
GUSTI BIANG
Dewa Ratu .. Kau telah merusak sarung bantal anakku .... Waayaaannn.. Waayaaaaaan ....Dimana pula setan itu, Wayaaaan ....
NYOMAN
Sayang sekali Gusti Biang tidak menyuruh Tiyang yang mengerjakannya. Mestinya, ditengahnya bisa disulam dengan warna biru muda. Lalu dengan menulis rapih “Selamat malam kasih, selamat malam pujaan, selamat malam manis, good night my darling”.
GUSTI BIANG
Setan! Setan! Kau tak boleh berbuat sewenang-wenang di rumah ini. Berlagak mengatur
orang lain yang masih waras. Apa good, good apa? Good bye! Menyebut kekasih, manis, kau pikir apa anakku. Wayan akan menguncimu di dalam gudang tiga hari tiga malam, dan kau akan meraung seperti si belang.
NYOMAN
Aduh cantiknya Gusti Biang. Seperti seekor burung merak. Seperti lima belas tahun yang lalu ketika tiyang masih kecil dan sering duduk di pangkuan Gusti. Masih ingatkah Gusti?
GUSTI BIANG
Tak kubiarkan lagi kau bermain di pangkuanku, berak, ngompol. Memang aku ini pelayanmu?
NYOMAN
Gusti Biang memang orang yang paling baik dan berbudi tinggi. Tidak seperti orang-orang lain, Gusti. Gusti telah menyekolahkan tiyang sampai kelas dua SMP, dan Gusti sudah banyak mengeluarkan biaya. Coba tengok bayangan Gusti di muka cermin, seperti
tiga puluh tahun saja .. Mau minum obatnya sekarang Gusti?
GUSTI BIANG
Tidak!
NYOMAN
Tiyang cicipi ya? Cobalah Gusti Biang ... mmm segar.
GUSTI BIANG
Sepatahpun aku tak ingin bicara lagi denganmu.
NYOMAN
GUSTI BIANG, pil ini musti ditelan satu persatu. Pakai pisang ambon atau pisang susu, atau air. Pilih mana yang Gusti suka. Tidak pahit rasanya Gusti. Dan dalam tempo seperempat jam, Gusti akan merasa segar. Sesudah itu minum puyer ini, untuk menghilangkan pusing-pusing Gusti.
GUSTI BIANG
Tidak!
NYOMAN
Obat-obat ini dikirimkan dokter Gusti. Harus dihabiskan.
GUSTI BIANG
Tidak, tidak. Aku tahu semuanya itu. Kalau aku menelan semua obat-obatmu itu, aku akan tertidur seumur hidupku, dan tidak akan bangun-bangun lagi, lalu good bye. Lalu kau akan menggelapkan beras ke warung cina. Kau selamanya iri hati dan ingin membencanaiku ... Kalau sampai aku mati karena racunmu, Wayan akan menyeretmu ke pengadilan.
NYOMAN
Dan yang terakhir baru menggosok punggung dan seluruh anggota badan Gusti yang terbuka dengan minyak kayu putih.
GUSTI BIANG
Tidak, tidak. Tidak akan kubiarkan tubuhku ditelanjangi dan disentuh orang-orang yang kurang ajar. Aku bukan ibumu, aku bukan nenekmu.
NYOMAN
Nah sekarang kita mulai dengan tablet-tablet ini Gusti. Menurut resep boleh ditelan atau dihancurkan, mana yang Gusti pilih. Kita mulai dengan pil merah ini Gusti.
GUSTI BIANG
Dewa Ratu ....
NYOMAN
Sebaiknya ditelan saja Gusti, itu yang paling aman ....
GUSTI BIANG
Aku tak mau dibujuk, mana si Wayan kambing tua itu. Setan ini benar-benar mau meracuniku, Waaayaaaan ..
NYOMAN
Ayo cepat Gusti. Tidak akan merasa pahit dan sakit.
GUSTI BIANG
Wayan tolong Wayan.
NYOMAN
Letakkan saja di atas pisang di ujung lidah. Lantas pejamkan mata. Lihat, dan secepat kilat akan meluncur Gusti.
GUSTI BIANG
Ah ... racunlah dirimu sendiri, gosok punggungmu sendiri. Buat apa kau meributkan benar penyakit orang lain. Itu tugas dokter di rumah sakit, dan bukan tugas penyeorangan seperti engkau .... Kalau memang aku sakit, aku akan berbaring di kamarku, dan memanggil Wayan supaya memijat keningku. Tidak ada yang salah kalau lelaki itu di sini. Wayaaaan
..Wayaaaan, lehermu akan diputar nanti.
NYOMAN
Kenapa Gusti Biang jadi seperti ini, Gusti mengecewakan tiyang.
GUSTI BIANG
Sakit gede, seumur hidupmu. Kalau akhirnya aku mati karena racunmu, awas-awaslah, rohku akan membalas dendam. Aku akan diam di batang-batang pisang dan di batu-batu besar, dan akan mengganggumu sampai mati. Tiap malam, bila malam bertambah malam. Setan, pergi kau, pergi. Sebelum kulempar dengan tongkat ini, pergi!
NYOMAN
Baiklah Gusti. Baiklah Gusti, tak apalah. Tapi tentunya Gusti lebih senang kalau puyer ini yang diminum lebih dahulu, baru kemudian menyusul pil-pil yang lain, atau Gusti ingin bersantap malam dulu. Percayalah Gusti, tidak akan terjadi apa-apa.
GUSTI BIANG
Wayaaaaaan ... Wayaaaaa. Tolong Wayaaaaaan ...
NYOMAN
Lihat Gusti. Gusti sudah merusak badan Gusti sendiri dengan berteriak-teriak.
GUSTI BIANG
Pergi kau leak. Pergi pergi ...pergi ...
NYOMAN
Gusti telah menyakiti tiyang lagi. Saya akan pergi. Saya akan pergi sekarang juga.
GUSTI BIANG
Ya, pergi kau sekarang juga. Bedebah. Leak. Pil-pil tiap hari dicekoki pil.
NYOMAN
Waktu putra Gusti pergi lima tahun lalu. Ide berpesan pada tiyang. Jaga baik-baik ibuku NYOMAN, peliharalah kesehatannya, jangan biarkan beliau menderita. Sekarang Gusti Biang dinyatakan sakit. Gusti harus berobat.
GUSTI BIANG
Diam! Diam!
NYOMAN
Baiklah kalau begitu
(Hendak pergi)
Gusti tidak usah berobat. Ya, apa peduli tiyang, segera Gusti akan terkapar lesuh. Malam akan bertambah malam jua
SAMPAI DI PINTU IA BERBALIK DAN MENDEKATI MEJA
GUSTI BIANG
Apa perdulimu?
NYOMAN
Tapi semua itu akan segera hilang ...Kalau Gusti mau meneguk air daun belimbing ini. Jamu ini diramu berdasarkan petunjuk dukun kesayangan Gusti Biang. Tiyang sudah mencampurnya dengan akar-akaran yang harum dan akan menguatkan badan. Pasti Gusti Biang tidak akan batuk lagi. Gusti Minumlah .....
GUSTI BIANG
Kau memang setan licik!
(Berteriak hendak memukul. Nyoman menarik dari belakang)
Lepaskan! Lepaskan leak! Wayan, Wayaaaan
NYOMAN BERHASIL MENDUDUKKAN GUSTI BIANG DI KURSI TAPI GUSTI BIANG MEMUKUL BERTUBI-TUBI DAN NYOMAN BERLARI KE SUDUT RUANG
NYOMAN
Cukup! Cukup! (Berlari mengelilingi meja)
GUSTI BIANG (Terus memukuli Nyoman dan Nyoman merebut tongkat)
Wayan tolong Wayaaaan ...
NYOMAN
Tak tiyang sangka Gusti sudah seberat ini! Tak tiyang sangka. Tiyang akan pergi ke desa, tak mau meladeni Gusti lagi!
GUSTI BIANG
Pergi leak! Aku sama sekali tidak menyesal!
NYOMAN (Berlari keluar)
Tiyang tidak akan kembali lagi!
GUSTI BIANG
Pergi sekarang juga! Wayaaan Wayan tua ...
(Duduk)
Ratu Singgih, moga-moga tulahlah perempuan itu, Wayaaan ..........
Adegan IV
WAYAN MASUK
WAYAN
Kalau tak salah seperti ada yang berteriak ...
GUSTI BIANG
Tua bangka, ke mana saja kau tadi, kenapa baru datang?
WAYAN
Tiyang ketiduran di gudang.
GUSTI BIANG
Kejar setan itu, putar lehernya! .. Kejar dia goblok!
WAYAN
Mana ada setan sore-sore begini Gusti?
GUSTI BIANG
Kejar perempuan setan itu.
WAYAN
Perempuan, perempuan yang mana Gusti?
GUSTI BIANG
Begundal itu! Masukkan dia ke gudang!
WAYAN
Maksud Gusti, Nyoman?
GUSTI BIANG
Usir dia dari rumah ini!
WAYAN Tetapi ... tetapi ...
GUSTI BIANG
Tua bangka, pukul dia sampai mati, putar lehernya. Diam saja seperti kambing!
WAYAN (Tertawa)
Gusti, Gusti, tidak ada kambing di sini!
GUSTI BIANG
Kau juga tidak waras!
WAYAN
Tetapi, memukul? Memutar leher?
GUSTI BIANG
Penakut!
WAYAN
Tidak, titiyang tidak takut sama leak atau memedi, tetapi memutar leher Nyoman, piih, lebih baik memutar leher tiyang sendiri. Perawan yang begitu cantik, baik, mahal.
GUSTI BIANG
Dia mau meracunku.
WAYAN
Meracun? Masak, ada yang berniat meracun Gusti.
GUSTI BIANG
Kau tukang ngotot.
WAYAN
Jangan gampang marah Gusti, itu cuma angan-angan. Sabarlah. Kalau usia sudah lanjut, tambahan lagi penyakitan, tak baik marah-marah malam begini!
GUSTI BIANG
Bedebah! Anjing ompong! Setelah mengusir dia aku akan mengutuk kau, biar ,mati kelaparan di pinggir kali.
WAYAN
Baik, kutuklah tioyang. Usir sekarang, tapi jangan menyuruh menyakiti orang dalam usia lanjut. Orang sedang bertapa dan bertobat disuruh mukul orang. Kalau ular belang atau ular hijau, cacing tanah atau ulat bulu, Wayan akan bunuh untuk keselamatan Gusti seperti tiga bulan lalu. Gusti duduk di sini dan titiyang di sana di bawah pohon sawo. Tiba-tiba Gusti Biang berteriak “ULAR”. Sekejab mata ular itu telah menjadi delapan potong, ya tidak?
GUSTI BIANG
Ular ...?
WAYAN
Jangan takut. Ular kelihatannya saja berbahaya, tapi sebenarnya binatang yang paling pemalu dan lucu. Titiyang sendiri sering menyimpan ular sawah dalam saku untuk dibelai pada waktu senggang, ...Oh mana ya? Ular sawah tak mengandung bisa, Gusti jangan takut ...
(Merogoh kantongnya)
Ah, ini dia.
GUSTI BIANG
Ulaaaarrrrr.
GUSTI BIANG LARI, WAYAN MENGGELENG-GELENGKAN KEPALA MENDENGAR JANDA BANGSAWAN ITU MEMAKI-MAKI. MALAM BERTAMBAH LARUT
BABAK II
HALAMAN RUMAH MALAM. WAYAN SEDANG MENGENANG MASA-MASA MUDANYA.
Adegan I
WAYAN MENEMBANG PELAN-PELAN. TIBA-TIBA MELIHAT SOSOK TUBUH, LALU MENGHAMPIRI.
WAYAN
Mau ke mana Nyoman?
NYOMAN
Pulang ke desa.
WAYAN
Malam-malam begini?
NYOMAN
Apa salahnya?
WAYAN
Kau akan kemalaman di jalan.
NYOMAN
Aku tidak takut.
WAYAN
Banyak orang jahat sekarang.
NYOMAN
Biar saja, daripada saya sakit tinggal di sini.
WAYAN
Besok sajalah pagi-pagi, bape akan mengantarmu dengan
bus. Oh ya, kau belum dapat ijinkan?
NYOMAN
Biar.
WAYAN
Kapan kau akan balik? Kenapa tergesa-gesa? Bape tidak marah Nyoman. Bape bersumpah lebih baik mati dimakan leak daripada memukul engkau. Kenapa tiba-tiba saja pulang?
NYOMAN
Saya dipukul, saya diusir, buat apa tinggal di sini kalau tidak disukai.
WAYAN
Nyoman. Nyoman sudah biasa tinggal di sini, kau tak akan betah tinggal di sana. Nanti kamu akan rusak di sana.
NYOMAN
Tapi di sana orangnya baik-baik. Saya tidak pernah dipukul, saya lebih senang tinggal di situ, biar cuma makan batu.
WAYAN
Daripada makan batu lebih baik tinggal di sini, makan minum cukup, ada radio, bisa nonton film India.
NYOMAN
Tapi kalau tertekan seperti binatang? Dimarahi, dihina, dipukul seperti anak kecil!
WAYAN
Tapi NYOMAN harus mengerti, kita berhutang budi pada Gusti Biang.
NYOMAN (Pelan-pelan)
Memang, saya banyak berhutang budi, dikasih makan, disekolahkan, dibelikan baju, dimasukkan kursus modes, tapi kalau tiap hari dijadikan bal-balan, disalah-salahkan terus? Sungguh mati kalau tidak dikuat-kuatkan, kalau tidak ingat pesan tu Ngurah, sudah dari dulu-dulu sebetulnya.
WAYAN
Aduh, apa nanti yang mesti bape katakan kalau dia menanyakan .... ”Di mana Nyoman Bape?” Nah, apa yang akan Bape jawab?
NYOMAN
Ide sudah lupa sama icang Bape, di sana banyak bintang-bintang pilem, pasti dia sudah lupa. Nulis surat aja tidak.
WAYAN
Tidak, dia tidak begitu?
NYOMAN
Siapa bilang begitu?
WAYAN
Aku tidak bilang. Ha .. ha .. pasti dia tidak akan begitu. Kalau sampai begitu, aku yang tanggung jawab. Makanya jangan pulang, sini barangnya..
NYOMAN
Akan saya tunggu di desa saja.
WAYAN
Sudahlah, dia cuma orang tua bangka. Umurnya hampir tujuh puluh tahun. Kenapa Nyoman pusing benar kepadanya?
Adegan II
SUARA GUSTI BIANG MENCARI NYOMAN, GUSTI BIANG MUNCUL DAN NYOMAN MENGHAMPIRI WAYAN.
NYOMAN
Saya pergi Bape, tidak bisa tahan lagi, saya sudah bosan.
GUSTI BIANG
Jangan biarkan dia membawa bungkusan itu! Tahan dia Wayan.
WAYAN
Tentu Gusti Biang.
NYOMAN
Baik, titiyang akan pergi.
GUSTI BIANG
Suruh dia pergi goblok, jangan biarkan dia mencuri bungkusan itu. Itu bukan kepunyaannya.
WAYAN
Tapi itu pakaiannya sendiri Gusti.
GUSTI BIANG
Dulu ketika kubawa kemari, dia cuma pakai kain rombeng. Ambil segera Wayan! Sakit gede.
NYOMAN
Baik, ambil saja Bape Wayan.
GUSTI BIANG
Nanti dulu.
NYOMAN
Apa lagi yang Gusti kehendaki?
GUSTI BIANG
Wayan!
WAYAN
Ya, ada apa Gusti?
GUSTI BIANG
Simpan bugkusan itu, jangan goblok kamu, lalu ambil buku besar, catatan keluar masuk, dari dalam lemari, ini kuncinya. Cepat!
WAYAN
Ah, catatan keluar masuk? Baru sekali ini titiyang mendengarnya .....
GUSTI BIANG
Ambil cepat goblok.
WAYAN
Tapi buku besar yang mana Gusti?
GUSTI BIANG
Tolol kamu ini! Buku besar di dalam lemari yang berwarna hijau.
WAYAN
Oh. Gusti Biang Ayo cepat!
Adegan III
WAYAN MASUK MEMBAWA BUNGKUSAN. GUSTI BIANG BERTOLAK PINGGANG, NYOMAN MEMPERHATIKAN DENGAN SANGAT BENCI.
GUSTI BIANG
Perempuan tak tahu balas budi. Tidak tahu berterima kasih, dikasih makan tiap hari malah durhaka. Disekolahkan malah jadi lawan. Maling, ular, mau meracun.
NYOMAN
Katakan sepuas-puasnya Gusti Biang.
GUSTI BIANG
Aku mau diracunnya, terlalu. Akan kuadukan kau kepada polisi. Gila!
NYOMAN
Gusti sendiri yang menyiksa tiyang.
GUSTI BIANG
Dasar penjilat! Kuberhentikan kau sekolah karena kau main mata dengan guru dan tukang kebun sekolah itu.
NYOMAN
Bohong! Itu hasutan anak Gusti Biang sendiri.
GUSTI BIANG
Benar!
NYOMAN
Bohong!
GUSTI BIANG
Benar, kau memang liar, genit, dan licik serta apa saja yang jelek-jelek.
NYOMAN
Baik, baik, tapi kau juga genit.
GUSTI BIANG
Apa katamu?
NYOMAN
Kau juga genit, kau ...
GUSTI BIANG
Apa katamu leak? Wayan akan memutar lehermu!
NYOMAN
Wayan akan memutar lehermu!
GUSTI BIANG
Dia akan menguncimu dalam gudang!
NYOMAN
Dia akan menguncimu dalam gudang!
GUSTI BIANG
Setan! Akan kucarikan kau polisi!
NYOMAN
Polisi itu akan membawakan Gusti ular belang.
GUSTI BIANG
Diam! Diam!
(Nyoman hendak pergi meninggalkan gusti biang, tapi gusti biang Mencegahnya)
Jangan pergi! Jangan duduk! Jangan bergerak!
NYOMAN (Berhenti lalu mendekat dan memandang Gusti Biang dengan marah)
Gusti Biang, tiyang bosan merendahkan diri, dulu tiyang menghormati Gusti karena usia Gusti lanjut. Tiyang mengikuti semua apa yang Gusti katakan, apa yang Gusti perintahkan meskipun tiyang sering tidak setuju. Tetapi Gusti sudah keterlaluan sekarang. Orang disuruh makan tanah terus-menerus, Gusti anggap tiyang tak lebih dari cacing tanah. Semutpun kalau diinjak menggigit, apalagi manusia, Gusti yang seharusnya agung, luhur, menjadi tauladan tapi seperti ...
GUSTI BIANG
Seperti apa?
NYOMAN
Orang kebanyakan saja mempunyai kasih sayang dan menghargai orang lain. Tapi Gusti, di mana letak keagungan Gusti? Cobalah Gusti berjalan di jalan raya seperti sekarang, Gusti akan ditertawakan oleh orang banyak. Sekarang orang tidak lagi diukur dari keturunan tapi kelakuan dan kepandaianlah yang menentukan. Sekarang tidak hanya bangsawan, semua orang berhak dihormati kalau baik. Begitu mestinya.
GUSTI BIANG
Begitu mestinya. Bohong! Bohong tolol!
NYOMAN
Memang tiyang tolol. Buat apa mengatakan ini semua. Gusti sudah terlalu lanjut, akan terlalu sakit untuk mengubah kebiasaan Gusti. Tapi seandainya mencoba, mencoba saja, saya akan mau di sini mengabdi untuk selamanya.
GUSTI BIANG (Meludah)
Ha.. ha .. kau tidak perlu pidato omong kosong, kau perempuan sudra. Kau akan kena tulah
karena berani menentangku, hei cepat Wayan!
Adegan IV
WAYAN MUNCUL DENGAN BUKU DITANGANNYA
GUSTI BIANG
Nah, sekarang sebelum kau pergi, kau harus melunasi hutangmu dulu.
NYOMAN
Hutang apa? Nyoman tidak pernah meminjam uang.
GUSTI BIANG
Buka bagian yang bertuliskan tinta merah, Wayan, cepat Wayan!
WAYAN (Tampak bingung membalik-balik buku)
Nanti dulu, piih. Nah ini dia.
GUSTI BIANG
Baca perlahan dengan jelas. Baca kataku!
WAYAN (Masih bingung, mendekatkan lampu)
Piih, mata tiyang kurang terang, sebentar, piih kenapa belum terang juga, kabur Gusti.
WAYAN
Gusti lupa, Wayan tak pernah belajar membaca.
GUSTI BIANG
Setan bawa kemari buku itu!
(gusti biang mengambil buku itu dan memberi isyarat kepada wayan agar mengambil kaca mata dan lampu teplok. wayan segera melakukannya dan mengangkat lampu teplok tinggi-tinggi)
Nah, di sini dicatat semua perongkosan yang kau habiskan selama kau dipelihara di sini. Nyoman Niti, asal dari desa Maliling, umur lebih kurang delapan belas tahun. Kulit kuning dan rambut panjang. Badan biasa, lebih tinggi sedikit dari Gusti Biang. Mulai dari tahun lima puluh empat, lima pasang baju, sebuah boneka, sebuah bola bekel, satu biji kelerang, satu tusuk konde, dan ...
WAYAN (Memotong)
Benar, piih, semua Gusti catat.
NYOMAN
Gusti Biang ....
GUSTI BIANG
Tahun lima puluh lima, sekarang! Dua baju rok, batu tulis, kebaya, pinsil, satu batang jarum, sepasang teklek, tikar dan seekor anak kucing belang.
WAYAN
Ah, benar Gusti Biang, titiyang masih ingat sekali ketika pertama kali Nyoman mengenakan kain kebaya. Piih, semuanya itu sudah lewat.
GUSTI BIANG
Selama dua tahun ini sudah berjumlah dua juta rupiah ... kemudian sekarang tahun lima puluh enam! Tidak ada, sebab aku lupa mencatatnya. Tahun lima puluh tujuh, aku juga lupa mencatatnya. Tetapi di sini yang kuingat, ia memecahkan sebuah cangkir dan kaca mataku. Lalu tahun lima puluh delapan! Sepasang sandal, sekotak bedak, kaca jendela dipecahkannya, dua buah gelas tiba-tiba menghilang, sekilo daging dimakan si belang karena
lupa mengunci dapur. Tiga buah sisir, tiga butir kelapa hilang. Seekor ayamku yang paling baik disembelihnya, sepuluh anak ayam tiba-tiba mati, yang bulu putih, hitam, coklat, kuning, dan berumbun. Lalu ...
WAYAN
Tapi semua itu tak bisa dipertanggungjawabkan kepada Nyoman, Gusti, itu adalah kesalahan induknya yang tidak berhati-hati menjaga anaknya. Bukan kesalahan Nyoman.
GUSTI BIANG
Diam! Diam kataku! Ini adalah urusanku, nanti kau akan mendapat bagianmu sendiri. Nah, ongkos hidupmu hampir delapan belas tahun di sini, benar-benar sudah kelewat batas. Coba lihat di sini, tahun enam puluh misalnya .. memecahkan kaca jendela, korupsi sabun, menghanguskan nasi, korupsi uang belanja dapur dan pekerjaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Beberapa kali aku memanggil mantri untuk mengobatinya,
membeli obat waktu ia sakit. Banyak, banyak sekali, itu belum ditambah yang lain-lain yang aku lupa catat. Belum lagi ditambah bunganya ...
WAYAN
Piih, ini perhitungan gila!
GUSTI BIANG (Berkata sungguh-sungguh)
Semua telah aku catat bersama tanggal dan hari kejadiannya. Sekarang kau boleh pergi. Kapan-kapan aku dan Wayan akan datang ke tempatmu dengan seorang polisi dan juru
sita sebab kau pasti tidak bisa membayar. Kau cuma punya gubuk yang buruk di desa dan tak pernah makan nasi. Rentenya sepuluh persen sebulan. Nah, bawa buku ini lagi ke dalam Wayan. Simpan baik-baik untuk dipergunakan kelak. Lalu usir dia! Apa yang kau tunggu lagi? Ambil buku ini, dan usir dia!
WAYAN TAK MENERIMA, IA MENDEKAT KE MEJA DAN MELETAKKAN LAMPU TEPLOK KEMUDIAN BERJONGKOK
WAYAN
Titiyang tak kuasa. Badan titiyang lemas. Gusti telah, mencatat hutang-hutang titiyang pula. Berapa semuanya Gusti?
GUSTI BIANG
Sudah tak terhitung lagi, hampir dua puluh juta!
WAYAN
Piih, titiyang punya nyawapun tak ada harganya dua puluh juta, Gusti, titiyang benar-benar ingin menangis sekarang.
GUSTI BIANG
Usir dia sekarang juga, jangan ngarje roras di sini.
(Melihat Wayan masih jongkok)
Apa? Baik aku sendiri yang mengusirnya kalau kau tak mau.
NYOMAN
Tidak usah disuruh Gusti, tiyang memang mau pergi sekarang. Tetapi sebelum titiyang pergi, tiyang hitung berapa hutang Gusti kepada tiyang.
GUSTI BIANG
Oh, aku tak pernah pinjam uang sepanjang hidupku..
NYOMAN
Lebih dari sepuluh tahun tiyang menghamba di sini. Bekerja keras dengan tidak menerima gaji. Kalau tidak ada Bape Wayan sudah lama tiyang pergi dari sini. Selama ini tiyang telah membiarkan diri diinjak-injak, disakiti, dijadikan bulan-bulanan seperti keranjang sampah. Tidak perlu rentenya, pokoknya saja. Hutang Gusti Biang kepada tiyang, sepuluh juta kali sepuluh tahun. Belum lagi sakit hati tiyang karena fitnahan dan hinaan Gusti. Pokoknya melebih harta benda yang masih Gusti miliki sekarang. Tapi ambillah semua itu sebagai tanda bakti tiyang yang terakhir.
GUSTI BIANG
Pergiiii! Pergiiii!
NYOMAN MENGHAPUS AIRMATA DAN BERLARI KE LUAR PINTU! JANDA BANGSAWAN ITU MENGAWASINYA DENGAN MENGANGKAT LAMPU TEPLOK
Adegan V
WAYAN YANG DUDUK MEMBELAKANGI GUSTI BIANG TIDAK TAHU KALAU NYOMAN TELAH PERGI
WAYAN (Bergumam)
Satu milyar kali sepuluh tahun? Aneh-aneh saja pembukuan jaman sekarang!
GUSTI BIANG (Mendekati Wayan)
Jangan cerewet Wayan. Awasi dia supaya jangan kembali kemari, kau dengar?
WAYAN
Sabar Gusti, kenapa Gusti gelap mata? Gusti telah menghantam semua orang dengan hutang. Satu milyar dan ..
(Menoleh ke belakang dan heran)
Piih, di mana Nyoman, Gusti?
GUSTI BIANG
Dia sudah pergi, buta. Dia tidak akan mengganggu
kita lagi ....
WAYAN
Maksud Gusti, dia sudah pergi dan titiyang tidak melihatnya?
GUSTI BIANG
Ya, kita sudah terlepas dari bahaya ....
WAYAN
Terlepas? Justru bahaya itu sekaranglah baru mulai Gusti.
GUSTI BIANG (Tertawa geli)
Tenang Wayan. Jangan pikirkan yang dua puluh juta itu, aku cuma pura-pura.
WAYAN (Beringas)
Titiyang tidak memikirkan titiyang punya diri, titiyang memikirkan putra Gusti Biang.
GUSTI BIANG
Bagus Wayan. Ah, mana kaca mata itu. Segera kita akan baca berita yang dikirimnya.
WAYAN
Dia akan mengumpat titiyang dan akan mengalungkan ular karena keteledoran titiyang. Ke
mana tadi perginya Gusti? Titiyang akan mengejarnya.
GUSTI BIANG
Apa maksudmu Wayan?
WAYAN
Buta! Tuli! Pikun! Piih! Dunia! Dunia ...
GUSTI BIANG (Panik)
Katakan, kenapa dia Wayan? Ya katakan, katakan apa maksudmu.
WAYAN (Menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kesal)
Nyoman niti, gusti biang.
GUSTI BIANG
Ya, Nyoman begundal itu, kenapa dia?
WAYAN
Gusti, Nyoman adalah tunangan Ngurah, calon menantu Gusti Biang sendiri, berani sumpah, Nyoman adalah tunangan Ngurah. Ratu Ngurah sendiri yang mengatakannya. “Aku akan mengawini Nyoman Bape” katanya. “Biar hanya orang desa, pendidikannya rendah tapi hatinya baik, daripada ...” biar dimakan leak. Demi apa saja!
GUSTI BIANG
Tidak, semua itu hasutan. Anakku tidak akan kuperkenankan kawin dengan bekas pelayannya. Dan, kami keturunan ksatria kenceng. Keturunan raja-raja Bali yang tak boleh dicemarkan oleh darah sudra.
WAYAN
Tapi kalau Ratu Ngurah menghendaki, bagaimana?
GUSTI BIANG
Bisa saja dipelihara sebagai selir. Suamiku dulu memelihara lima belas orang selir. Kalau tidak, jangan mendekati anakku.
WAYAN
Tapi mereka saling mencintai!
GUSTI BIANG
Cinta? Apa itu cinta, itu hanya ada dalam kidung-kidung Smarandanamu.
WAYAN
Kalau begitu alamat akan perang.
GUSTI BIANG
Perang, apa maksudmu? Perang sudah selesai, tidak ada perang lagi!
WAYAN
Wayan tidak mau kehilangan tongkat dua kali.
GUSTI BIANG
Ngurah tidak akan sudi menjamah perempuan dekil itu.
WAYAN
Ratu Ngurah benar-benar mencintai Nyoman, Gusti Biang.
GUSTI BIANG
Bohong!
WAYAN
Baik, bacalah surat itu kalau tidak percaya!
GUSTI BIANG
Surat? Ini surat Ngurah, aku terima tadi.
WAYAN
Sudah lima hari yang lalu!
GUSTI BIANG
Tapi! Kau keterlaluan!
WAYAN
Coba baca!
(GUSTI BIANG MEMBACA DEKAT LAMPU TEPLOK DAN WAYAN MENDENGARKAN DENGAN TENANG)
GUSTI BIANG
Swatiastu, ibunda tercinta .... Kalau aku bilang tadi, kamu bilang sudah lima hari, apa saja yang aku katakan kamu lawan! Dewa Ratu, dengarlah Wayan. Betapa pinternya ia menghormati
(Membaca lagi)
dengan singkat ananda kabarkan bahwa ananda segera pulang. Ananda telah merencanakan
berunding dengan ibu. Sudah masanya sekarang ananda menjelaskan. Meskipun ananda belum menyelesaikan pelajaran, bahkan mungkin ananda akan berhenti sekolah saja, sebab tak ada lagi gunanya. Ananda hendak menjelaskan kepada ibu bahwa ananda tidak bisa lagi berpisah lebih lama. Rahasia ini ananda simpan sejak lama. Supaya ibu tidak kaget nanti, akan saya terangkan bahwa ananda bermaksud, ananda bermaksud ... ananda
bermaksud
MENGULANG SAMBIL MENDEKATKAN LAMPU TEPLOK
WAYAN
Bermaksud apa?
GUSTI BIANG
Bermaksud, bermaksud ...
WAYAN
Ya bermaksud apa? Baca terusnya Gusti Biang.
GUSTI BIANG (Tiba-tiba surat itu jatuh dari pegangannya)
Jadi, dia benar-benar mau kawin dengan perempuan itu?
WAYAN
Ya!
GUSTI BIANG
Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras, Ngurah harus kawin dengan orang patut-patut. Sudah kujodohkan sejak kecil dia dengan Sagung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarganya di sana, kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai orang tua seperti itu. Apapun yang terjadi dia harus terus menghargai
martabat yang diturunkan oleh leluhur-leluhur di puri ini. Tidak sembarang orang dapat dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-benar menjaga martabat ini. Oh, aku akan malu sekali, kalau dia mengotori nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri daripada menahan malu seperti ini. Apa nanti kata Sagung Rai? Apa nanti kata keluarganya kepadaku? Tidak, tidak!
(Wanita Itu Menjerit Dan Mendekati Wayan Dengan Beringas)
Kau, kau biang keladi semua ini. Kau yang menghasut supaya mereka bertunangan. Kau sakit gede!
WAYAN
Tidak, titiyang tidak ikut campur Gusti Biang.
GUSTI BIANG
Ya, kaulah hantu yang memburu hidupku. Aku masih ingat kejadian jaman dulu. Waktu aku masih muda dan kau memburuku dengan mata buayamu itu, kau memang licik! Dasar manusia sudra! Kau menghasut anakku supaya kawin dengan Nyoman karena kau sendiri gagal!
WAYAN
Siapa bilang tiyang gagal!
GUSTI BIANG
Suamiku yang telah menggagalkan kau.
WAYAN
Suami GUSTI BIANG seorang pembohong!
GUSTI BIANG
Bedebah! Berani kau menghina pahlawan di puri
ini?
WAYAN (Tertawa pehit. Wajahnya menjadi keras)
Pahlawan? Pahlawan apa? Siapa yang mengatakan dia pahlawan?
GUSTI BIANG
Semua mengatakan dia pahlawan! Dia telah berjuang untuk kemerdekaan dan mati ditembak Nica!
WAYAN
Itu bohong! Orang-orang seperti dia yang menggabungkan diri dalam pasukan Gajah Merah memang pantas disebut pahlawan, Pahlawan penjajah! Orang-orang seperti dia telah menikam perjuangan dari belakang.
GUSTI BIANG
Pergi! Pergi bangsat! Angkat barang-barangmu. Tinggalkan rumah suamiku ini. Aku tak sudi memandang mukamu!
MELEMPARI WAJAH WAYAN DENGAN BOTOL
WAYAN
Baik aku akan pergi sekarang. Aku akan menyusul Nyoman. Aku juga bosan di sini meladeni tingkah lakumu. Tapi sebelum aku pergi akan aku jelaskan tentang pahlawan gadungan itu. Gusti harus tahu ....
GUSTI BIANG (Memotong)
Tidak! Aku tidak mau mendengar. Kau telah menghina suamiku. Ini tidak bisa dimaafkan
lagi. Pergi! Pergi! Sebelum aku mengutukmu, pergi! Rumah ini kepunyaanku, tinggalkan gudangku itu, pergi bedebah!
WAYAN
Benar?
GUSTI BIANG
Pergi leak! Jangan kau menggangguku lagi. Pergi!
WAYAN
Baik, tiyang akan pergi Gusti Biang.
WAYAN MENINGGALKAN RUANGAN, GUSTI BIANG MELONTARKAN KUTUKAN
GUSTI BIANG
Tinggalkan gudang itu sekarang juga. Enyah dari rumah suamiku.
(Agak rendah, jongkok)
dia sudah menjadi setan, suamiku dihinanya, anakku dihasutnya. Terkutuk, terkutuk bedebah itu. Apa yang harus aku katakan kepada Sagung Rai kalau Ngurah kawin dengan perempuan sudra itu? Bedebah, terkutuk! Dewa Ratu, malangnya nasib orang tua ini, semua mendustaiku, semua orang menjadi binatang.
MEMANDANG SEKELILING LALU DUDUK DI KURSI. UNTUK BEBERAPA SAAT IA TERTIDUR DI KURSI ITU
BABAK III
TEMPAT TIDUR GUSTI BIANG
Adegan I
GUSTI BIANG
tertidur ketika Ngurah masuk.
NGURAH
Ibu ...
GUSTI BIANG
Siapa?
NGURAH
Tiyang Ngurah, Tiyang datang Ibu ....
GUSTI BIANG
Ngurah?
NGURAH
Yah! Ngurah, bangun ibu.
GUSTI BIANG (Mengusap matanya tak percaya lalu terbelalak sambil tersenyum)
Ngurah .. Ngurah, kenapa kau baru pulang, kau sudah lupa pada ibumu. Kurang
ajar, aku telah dihina, direndahkan, leak. Kalau kau ada di rumah, mereka tidak akan berani. Semua orang sudah pergi, tak ada yang merawatku. Kamu jadi kurus hitam, seperti kuli.
NGURAH
Ya, saya bekerja di situ.
GUSTI BIANG
Bekerja? Katanya belajar kenapa bekerja?
NGURAH
Ya, bekerja sambil belajar.
GUSTI BIANG
Karena itu kamu gagal.
NGURAH
Ibu, banyak sekali yang saya pikirkan.
GUSTI BIANG
Tapi kau tak pernah memikirkan ibumu.
NGURAH
Justru karena tiyang memikirkan ibu jadi begini.
GUSTI BIANG
Kau memikirkan ibumu kalau kau perlu uang. Itu
barang-barangmu?
NGURAH
Ya.
GUSTI BIANG
Itu koper yang ibu belikan dulu?
NGURAH
Ya, betul ibu.
GUSTI BIANG
Koper itu bisa kau jaga, tapi tujuanmu ke sana tidak. Mana barang-barangmu yang lain?
NGURAH
Masih ada di pondokan.
GUSTI BIANG
Mengapa kau tinggalkan di situ, apa kau akan kembali ke situ?
NGURAH
Saya tidak tahu. Semua tergantung ...
GUSTI BIANG
Tergantung apa?
NGURAH
Entahlah, keadaan tentunya saja.
GUSTI BIANG
Ibu kira kau sudah jadi orang, ternyata? Mana cincinmu?
NGURAH
Cincin?
GUSTI BIANG
Waktu berangkat dulu kau ibu kasih tiga buah cincin peninggalan ayahmu, mana sekarang?
NGURAH
Masih ada....
GUSTI BIANG
Ada di tukang gadai? Aku sudah tahu kelakuan anak-anak yang mengaku-ngaku sekolah tapi nyatanya hanya nonton bioskop. Aku sudah dapat firasat buruk, kalau barang peninggalan leluhurmu sudah kau perlakukan seperti itu. Jangan-jangan kau akan ikut merendahkan dan menghina ibumu ini. Buat apa kau pergi jauh-jauh kalau untuk bertambah
bodoh, untung kau tidak membawa perempuan dari sana, seperti Ngurah Purname di puri Anom. Aku bisa mati berdiri. Kalau cuma perawan, perawan macam apapun di sini ada, tinggal pilih saja. Tapi tidak ada yang lebih cantik, lebih halus, lebih rajin dari Sagung Rai di seluruh puri-puri di Tabanan ini. Sekarang dia sudah besar dan cantik sekali. Besok kamu harus ke sana membawa oleh-oleh.
NGURAH
Ibu, ibu bicara apa itu?
GUSTI BIANG
Kau sudah besar dan pantas kau memberikan aku cucu, sebelum kelewatan. Hanya itu yang aku tunggu sekarang.
NGURAH
Nanti saja kita bicarakan itu.
GUSTI BIANG
Tidak. Sekarang! Apa oleh-olehmu untuk Sagung Rai? Ha..ha kamu juga tidak membawa apa-apa buat ibu bukan?
NGURAH
Maaf ibu.
GUSTI BIANG
Tapi kamu pasti tidak lupa membelikan begundal itu klompen, baju brokkat, kaca mata, de colognet, gincu, tas, ha! Aku minta balsem cap macan saja tidak digubris. Perempuan kurang ajar!
NGURAH
Perempuan? Perempuan siapa ibu?
GUSTI BIANG
Putar-putar! Aku sudah menerima suratmu.
NGURAH
Ya, nanti saja kita bicarakan.
GUSTI BIANG
Kau sendiri yang menulis kan?
NGURAH
Ya.
GUSTI BIANG
Kau ingat apa yang kau tulis? Benar semua itu?
NGURAH
Ya, nanti, nanti kita bicarakan.
GUSTI BIANG
Nanti atau sekarang sama saja, benar Ngurah kau yang menuliskan surat itu?
NGURAH
Sebentar ibu, tiyang akan jelaskan.
GUSTI BIANG
Ngurah kau anak durhaka!
NGURAH
Ibu, tenanglah ibu.
GUSTI BIANG
Tidak! Kalau masih berniat kawin dengan dia, jangan coba-coba memasuki rumah ini, dan kalau kawin juga dengan dia, jangan lagi menyebut ibu kepadaku.
NGURAH
Tenang, mari kita bicarakan nanti baik-baik, tiyang sudah lelah. Semuanya nanti kita bicarakan.
GUSTI BIANG
Ibu pun sangat lelah. Tak ada waktu lagi berpanjang-panjang. Sebelum ini berakar menjadi sakit hati, kita harus meyelesaikannya, sekarang juga harus selesai!
NGURAH
Begitukah keputusan ibu?
GUSTI BIANG
Ya.
NGURAH
Tiyang ingin istirahat dulu.
GUSTI BIANG
Kau boleh berbuat sesukamu kalau semuanya sudah beres. Ini adalah rumahku dan kau adalah ahli waris satu-satunya.
NGURAH
Baiklah, kalau itu yang ibu kehendaki.
HENDAK DUDUK
GUSTI BIANG
Kau tak perlu duduk! Ibu sendiri tak akan duduk sebelum semuanya selesai dengan baik. Kita akan selesaikan sekarang. Jadi kau bermaksud kawin dengan penjeroan itu?
NGURAH
Begini ibu ...
GUSTI BIANG
Jawab saja dengan singkat. Benar kau mau mengawininya? Jawab Ngurah. Jawab!
NGURAH
Ya, titiyang akan mengawininya.
GUSTI BIANG
Ngurah! Kau sudah diguna-gunanya.
NGURAH
Kami saling mencintai ibu.
GUSTI BIANG
Cinta? Ibu dan ayahmu kawin tanpa cinta. Apa itu cinta? Yang ada hanyalah kewajiban menghormati leluhur yang telah menurunkanmu, menurunkan kita semua di sini. Kau tak boleh kawin dengan dia, betapapun kau menghendakinya. Aku telah menyediakan orang yang patut untukmu. Jangan membuatku malu. Ibu telah menjodohkan kau sejak kecil dengan Sagung Rai.
NGURAH
Sagung Rai? Tidak ibu.
GUSTI BIANG
Apa kurangnya Sagung Rai, dibanding dengan perempuan desa itu.
NGURAH
Tidak, tiyang tidak mau kawin dengan dia.
GUSTI BIANG
Kenapa tidak? Ibu dan keluarganya telah selesai merundingkan semua. Dia sudah tamat SMP. Kelakuannya halus dan rajin.
NGURAH
Ibu, soalnya bukan itu, ibu harus mengerti, sekarang orang ingin memilih sendiri teman hidup.
GUSTI BIANG
Kalau ingin kau pelihara perempuan sudra itu karena nafsumu, terserahlah. Boleh kau pelihara sebagai selir. Kau boleh berbuat sesukamu, sebab aku telah memeliharanya sejak kecil. Tetapi untuk mengawininya dengan upacara itu tidak bisa.
NGURAH
Tidak?
GUSTI BIANG
Tidak! Aku menentangnya.
NGURAH
Kenapa tidak?
GUSTI BIANG
Dia tidak pantas menjadi istrimu! Dia tidak pantas menjadi menantuku!
NGURAH
Kenapa tidak ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas dari Nyoman untuk menjadi istri? Karena derajatnya? Tiyang tidak pernah merasa derajat tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan tiyang harus berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa jadi teladan orang, yang
lain omong kosong semua!
(Gusti Biang Terbelalak Dan Mendekat)
Tiyang sebenarnya pulang meminta restu dari ibu. Tapi karena ibu menolaknya karena sola kasta, alasan yang tidak sesuai lagi. Tiyang akan menerima akibatnya
(Gusti Biang Menangis, Ngurah Bergulat Dengan Batinnya)
Tiyang akan kawin dengan Nyoman. Sekarang ini soal kebangsawanan jangan di besar-besarkan lagi. Ibu harus menyesuaikan diri, kalau tidak ibu akan ditertawakan orang. Ibu ...
GUSTI BIANG
Tinggalkan aku anak durhaka! Pergilah memeluk kaki perempuan itu! Kau bukan anakku lagi!
Leluhurmu akan mengutukmu,kau akan ketulahan.
NGURAH (Memegang kepala)
Ini tidak bisa diselesaikan begini saja. Panggillah Nyoman dan Bape Wayan,
kita bicarakan tenang-tenang.
GUSTI BIANG
Tidak! Sudah kuusir leak-leak itu! Aku sudah dihina, diinjak-injak!
NGURAH
Diusir? Nyoman, ibu usir?
KELUAR
GUSTI BIANG
Ya! Leak itu tidak boleh masuk rumahku ini. Setan tua itu juga! Biar mati dua-duanya sekarang! Kalau kau mau ikut pergi terserah. Aku akan mempertahankan kehormatanku. Kehormatan suamiku, kehormatan Sagung Rai, kehormatan leluhur-leluhur di puri ini.
BABAK IV
DEPAN RUMAH MALAM
Adegan I
WAYAN MUNCUL MEMBAWA KOPOR SENG DAN SENJATA. LALU MELIHAT KE DALAM RUMAH NGURAH MUNCUL DARI SAMPING WAYAN
WAYAN
Tu Ngurah ..
NGURAH
Bape Wayan!
WAYAN
Tepat sekali ratu Ngurah datang.
NGURAH
Apa kabar Bape?
WAYAN
Buruk tu Ngurah, buruk sekali.
NGURAH
Bape sehat-sehat saja?
WAYAN
Marahlah, umpatlah si tua yang pikun ini.
NGURAH
Kenapa?
WAYAN
Nyoman telah pergi.
NGURAH
Ke mana?
WAYAN
Baru saja tiyang hendak menyusulnya sekarang.
NGURAH
Baru saja?
WAYAN
Ya, baru saja, pasti belum jauh.
NGURAH
Kenapa dia pergi Bape?
WAYAN
Tu Ngurah tahu sendiri, sudah lama Gusti Biang tidak cocok dengan Nyoman. Titiyang tidak bisa mendamaikannya. Nyoman sudah sering ingin minggat, tapi tadi, tiba-tiba saja dia pergi. Salah titiyang juga tu Ngurah.
NGURAH
Sudahlah biar dulu begitu. Semuanya akan selesai nanti. Saya juga telah bertengkar dengan ibu. Duduklah Bape, bape jangan ikut pergi. Duduklah bape. Pasti ibu yang salah. Bape sudah bertahun-tahun di sini, tak baik kalau tiba-tiba pergi, duduklah bape ...
Adegan II
GUSTI BIANG MUNCUL
GUSTI BIANG
Tinggalkan rumahku sekarang ini juga.
WAYAN
Tiyang sudah berusaha baik-baik tapi tidak berhasil. Bape pergi sekarang
KEPADA NGURAH
GUSTI BIANG
Pergi Leak, jangan mengotori rumah suamiku.
WAYAN HENDAK PERGI, NGURAH MENAHANNYA
NGURAH
Bape! Jangan pergi! Ingat saya Bape. Jadi Bape akan tinggalkan?
GUSTI BIANG
Dia hantu! Tinggalkan rumah ini cepat!
WAYAN
Ya, tiyang hantu, seperempat abad tiyang mengabdi di rumah ini karena cinta. Sekarang keadaan tambah buruk. Bape pergi tu Ngurah
MENGANGKAT KOPER HENDAK PERGI
GUSTI BIANG
Tunggu dulu! Apa yang kau bawa itu? Kau mencuri barang-barangku. Bedil? Bedil siapa itu?
WAYAN
Pak Rajawali punya bedil waktu revolusi. Bedil ini sudah banyak membunuh pengkhianat.
GUSTI BIANG
Bedil itu kepunyaanku!
WAYAN
Kepunyaan Gusti Biang?
(Kepada Ngurah)
Ini bedil Bape ...
GUSTI BIANG
Ngurah! Ambil bedil itu! Ia mencuri bedil yang kusimpan di kamar ayahmu.
WAYAN
Ini bedil pak Rajawali.
GUSTI BIANG
Setan, anakku kamu hasut. Bedil peninggalan suamiku kau curi! Ambil bedil itu Ngurah! Bedil itu wasiat ayahmu.
NGURAH (Tertarik kepada bentuk bedil itu)
Coba lihat, aneh sekali bentuknya.
WAYAN
Bedil ini kepunyaan tiyang.
NGURAH
Benar? Coba saya ingin lihat.
GUSTI BIANG
Rebut saja! Jangan percaya dia lagi!
NGURAH
Ibu, di mana peluru yang menewaskan ayah?
MENGAMBIL BEDIL DARI TANGAN WAYAN
GUSTI BIANG
Tentu aku selalu membawanya sebagai jimat.
NGURAH
Coba lihat
(Menerima peluru)
Peluru ini yang telah membunuh ayah. Dokter Belanda itu membedah mayat ayah dan menyerahkan peluru ini kepada ibu. Ibu menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Kemudian atas permintaan ibu, dokter itu juga memberikan senjata yang dipergunakan untuk menembakkan peluru ini.
GUSTI BIANG
Benar. Senjata laknat ini yang telah membunuh suamiku. Nica jahanam.
WAYAN
Nica tidak mempunyai bedil macam ini.
GUSTI BIANG
Tidak! Usir dia Ngurah! Usir cepat!
.
WAYAN
Bedil macam ini hanya dipunyai gerilya.
GUSTI BIANG
Bedebah! Tidak! Jangan biarkan dia bicara, usir!
WAYAN (Tertawa)
Semua pahlawan mati tertembak Nica, tetapi dia tidak. I Gusti Ngurah Ketut Mantri bukan
seorang pahlawan, dia ditembak mati gerilya sebagai penghianat.
GUSTI BIANG
Dengar, dia menghina ayahmu! Usir dia! Tembak dia sampai mati!
NGURAH (Memegang ibunya yang hendak memukul)
Tenang ibu!
GUSTI BIANG Coba katakan lagi suamiku penghianat! Coba!
Kupukul kau bedebah.
WAYAN
Dia memang penghianat.
GUSTI BIANG
Leak! Terkutuk kau!
NGURAH
Sabar ibu!
MENDUDUKKAN IBUNYA
GUSTI BIANG
Kenapa kau diam saja anak durhaka! Tembak jahanam itu! Dia menghina suamiku.
NGURAH
Baik ibu, tapi tenang, nanti tetangga-tetangga bangun.
GUSTI BIANG
Biar, biar. Usir dia sekarang
BATUK KERAS
NGURAH
Bape bilang ayah saya penghianat? Kenapa Bape
WAYAN membeo kata orang yang iri hati? Bape sudah bertahun-tahun di sini mengapa mau merusak nama baik keluarga kami?
SALING BERPANDANG-PANDANGAN
WAYAN (Dengan tegas)
Tiyang tahu semuanya, tu Ngurah. Sebab tiyang yang telah mendampinginya setiap
saat dulu. Sejak kecil tiyang sepermainan dengan dia, seperti tu Ngurah dengan Nyoman. Tiyang tidak buta huruf seperti disangkanya. Tiyang bisa membaca dokumen-dokumen dan surat-surat rahasia yang ada di meja kerjanya. Siapa yang membocorkan gerakan Ciung Wanara di Marga dulu? Nica-nica itu mengepung Ciung Wanara yang dipimpin oleh pak Rai, menghujani dengan peluru dari berbagai penjuru, bahkan dibom dari udara sehingga kawan-kawan semua gugur. Siapa yang bertanggung jawab atas kematian sembilan puluh
enam kawan-kawan yang berjuang habis-habisan itu? Dalam perang puputan itu kita kehilangan Kapten Sugianyar, kawan-kawan tiyang yang paling baik, bahkan kehilangan pak Rai sendiri. Dialah yang telah berkhianat, dialah yang telah melaporkan gerakan itu semua kepada Nica.
GUSTI BIANG
Tidak! Itu tidak benar! Suamiku seorang pahlawan Ngurah usir dia.
NGURAH (Menghampiri Wayan)
Saya tidak percaya!
GUSTI BIANG
Jangan percaya! Leak!
NGURAH
Bape menghina keluarga saya.
WAYAN
Bukan menghina tu Ngurah. Begitulah keadaannya. Desa Marga menjadi saksi semua itu, hanya beliau dilahirkan sebagai putra Bangsawan yang berpengaruh serta dihormati karena jasa-jasa leluhur, dosa beliau kepada pak Rai terhadap semua korban puputan itu seperti dilupakan. Tetapi tiyang sendiri tidak pernah melupakannya. Bukan hanya seorang, banyak penghianat-penghianat di bumi ini dianggap orang sebagai pahlawan sedangkan yang benar-benar berjasa dilupakan orang.
NGURAH
Saya tak senang dengan cara-cara bape ini, diam-diam menjadi musuh dalam selimut. Susah payah saya memperbaiki nama baik keluarga. Sekarang bape hendak menodainya. Mencari-cari kesalahan memang gampang bape. Bape lupa, besar jasa ayah saya kepada perjuangan. Sayang beliau sudah meninggal. Kalau tidak, Ia akan menjelaskannya. Tarik kata-kata bape.
WAYAN HANYA TERSENYUM SINIS
NGURAH
Pergi!
WAYAN (Memalingkan muka hendak pergi tapi tiba-tiba tertegun dan berbalik)
Berikan bedil itu Tu Ngurah.
GUSTI BIANG
Tidak, itu bedilku, kau telah mencurinya.
NGURAH
Coba buktikan, buktikan kalau ayah saya seorang penghianat. Berikan bukti yang nyata, jangan hanya prasangka!
WAYAN (Menggeleng)
Berikan bedil itu Tu Ngurah!
GUSTI BIANG
Ayahmu ditembak Nica!
NGURAH (Membentak)
Buktikan!
WAYAN
Buat apa?
NGURAH
Buktikan!
WAYAN
Tiyang selalu mendampinginya. Tiyanglah yang selalu dekat dengan dia, dan tiyang seorang gerilya.
NGURAH
Lalu?
MEREKA SALING BERPANDANG-PANDANGAN. WAYAN MENGAMBIL BEDIL ITU DARI TANGAN NGURAH DAN NGURAH SEPERTI TAK BERTENAGA MEMBERIKAN BEDIL ITU
WAYAN (Pelan)
Aku telah sengaja melupakannya. Belanda itu memungutnya, tetapi tak tahu siapa yang
menembaknya.
(Membelai bedil)
Tiyanglah yang menembaknya.
NGURAH
Bape?
GUSTI BIANG
Tidak! Tidak! Tidak!
BERDIRI HENDAK MELEMPAR DENGAN TONGKAT. WAYAN SEGERA MERAMPAS DAN MENDUDUKKANNYA KEMBALI. SEMENTARA NGURAH HANYA TERCENGANG
WAYAN
Diam! Diam! Sudah waktunya menerangkan semua ini sekarang. Dia sudah cukup tua untuk tahu.
(Kepada Ngurah)
Ngurah, Ngurah mungkin mengira ayah Ngurah yang sejati, sebab dia suami sah ibu Ngurah. Tapi dia bukanlah seorang pejuang. Dia seorang penjilat, musuh gerilya. Dia bukan lelaki jantan, dia seorang wandu. Dia memiliki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk menutupi kewanduannya. Kalau dia harus melakukan tugas sebagai seorang suami, tiyanglah yang sebagian besar melakukannya. Tapi semua itu menjadi rahasia ... sampai ... Kau lahir, Ngurah, dan menganggap dia sebagai ayahmu yang sebenarnya. Coba tanyakan kepada ibu Ngurah, siapa sebenarnya ayah Ngurah yang sejati.
NGURAH TAK PERCAYA DAN MENGHAMPIRI IBUNYA YANG MULAI MENANGIS
WAYAN
Dia pura-pura saja tidak tahu siapa laki-laki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling mencintai sejak kecil, sampai tua bangka ini. Hanya kesombongannya terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolakku,
lalu dia kawin dengan bangsawan, penghianat itu, semata-mata hanya soal kasta. Meninggalkan tiyang yang tetap mengharapkannya. Tiyang bisa ditinggalkannya, sedangkan cinta itu semakin mendalam.
NGURAH (Berdiri dan bertanya dengan tolol)
Betulkah itu?
WAYAN
Tanyakan sendiri kepada dia.
NGURAH
Betulkah semua itu Ibu?
GUSTI BIANG TERUS MENANGIS SEMENTARA NGURAH TERUS BERTANYA SAMBIL BERTERIAK
WAYAN
Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya. Seperti cinta Ngurah kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu menganggap tiyang gila, pikun, tuli, hidup. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa muda yang tak bisa dibeli lagi.
(Memandang Ngurah dengan lembut. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu dan kemudian
berkata)
Tidak. Ngurah tidak boleh kehilangan masa muda seperti bape hanya karena perbedaan
kasta. Kejarlah perempuan itu, jangan-jangan dia mendapatkan halangan di jalan. Dia pasti tidak akan berani pulang malam-malam begini. Mungkin dia bermalam di dauh pala di rumah temannya. Bape akan mengurus ibumu. Pergilah cepat, kejar dia sebelum terlambat.
KEDUA LAKI-LAKI ITU SALING MEMANDANG, GUSTI BIANG TERPAKU DAN MERASA MALU SEKALI. WAYAN KASIHAN DAN MENDEKATI GUSTI BIANG. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN WAYAN MEMANDANG NGURAH LAGI
WAYAN
Ngurah, sudah tahu semuanya. Ngurah sudah pantas mendengar itu. Tapi Jangan terlalu memikirkannya. Lupakan saja itu semua. Itu memang sudah terjadi tetapi sekarang setelah Ngurah tahu, hati kami merasa lega. Sekarang lupakan semua itu. Lupakan, jangan bersakit-sakit memikirkannya.
NGURAH MEMALINGKAN MUKA KETIKA WAYAN MENATAPNYA
WAYAN
Semua itu bohong, Titiyang bukan ayah Ngurah. Tiyang adalah Wayan yang pikun dan akan segera mati, dan beliau itu (Menunjuk potret) bukan penghianat. Dia seorang pahlawan dan pantas Ngurah sebut ayah. Ya ... banyak terdapat keburukan di atas dunia ini. Tapi tidak semua keburukan yang kita ketahui itu perlu diketahui orang lain, kalau bisa membuat keadaan lebih buruk lagi. Pergilah Tu Ngurah dan tiyang yang akan meladeni Gusti Biang.
TANPA MENOLEH NGURAH MENINGGALKAN TEMPAT
Adegan III
GUSTI BIANG
sudah berhenti menangis, Ia malu menatap Wayan, tapi laki-laki itu mendekatinya.
WAYAN
Bagaimana Gusti Biang?
GUSTI BIANG (Kemalu-maluan)
Kenapa kau ceritakan semua itu padanya.
WAYAN
Waktu telah tiba, dia sudah cukup dewasa untuk mengetahuinya.
GUSTI BIANG
Kau menyebabkan aku sangat malu.
(Gusti Biang Tertunduk Dan Wayan Menghapus Air Matanya)
Wayan Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi, bagaimana Gusti Biang?
GUSTI BIANG (Sambil menghapus air matanya)
Aku tidak akan mencegahnya lagi. Kita akan mengawinkannya,
(Dengan manja)
Tapi jangan ceritakan lagi tentang yang dulu-dulu. Aku sangat malu.
WAYAN (Tersenyum)
Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu Sagung Mirah, sampai kita
berdua sama-sama mati dan di atas kuburan kita, anak-anak itu berumah tangga dengan baik. Sagung Mirah ..
GUSTI BIANG
Apa Wayan?
WAYAN
Kau tetap cantik seperti Dewi Sri ...
GUSTI BIANG
Huuuuuuuuuussssssss!
WAYAN TERTAWA LALU BERJALAN KE GUDANG. GUSTI BIANG MENGANGKAT LAMPU TEPLOK UNTUK WAYAN.
TAMAT
BILA MALAM BERTAMBAH MALAM
KARYA PUTU WIJAYA
BABAK I
MALAM DI TEMPAT KEDIAMAN GUSTI BIANG. SEBUAH BALE YANG DISEMPURNAKAN UNTUK TEMPAT TINGGAL.
GUSTI BIANG MEMANGGIL-MANGGIL WAYAN.
Adegan I
KELIHATAN NYOMAN SEDANG MENYIAPKAN MAKAN MALAM UNTUK GUSTI BIANG. SEMENTARA WAYAN MENGAMPELAS PATUNG. ORIGINAL SOUNTRACK: WAYAN .. Wayaaaaaan ....
NYOMAN MEMBERI ISYARAT KEPADA WAYAN.
NYOMAN
Benar Ida akan pulang hari ini?
WAYAN
Ya ....
Adegan II
DI RUANG DEPAN ADA KURSI GOYANG DAN KURSI TAMU. GUSTI BIANG NGOMEL TERUS.
GUSTI BIANG
Si tua itu tak pernah kelihatan kalau sedang dibutuhkan. Pasti ia sudah berbaring di kandangnya menembang seperti orang kasmaran pura-pura tidak mendengar, padahal aku sudah berteriak, sampai leherku patah. Wayaaaaan ..... Wayaaaaan tuaaaa.....
WAYAN
Nuna sugere GUSTI BIANG, kedengarannya seperti ada yang berteriak ................
GUSTI BIANG
Leherku sampai putus memanggilmu, telingamu masih kamu pakai tidak?
WAYAN
Tentu saja Gusti Biang, itu sebabnya tiyang datang .........
GUSTI BIANG
Jangan berbantah denganku. Kau sudah tua dan rabun, lubang telingamu sudah ditempati kutu busuk. Kau sudah tuli, malas dan suka berbantah, cuma bisa bergaul dengan si belang. Kau dengar itu kuping tuli?
WAYAN
Betul Gusti Biang.
WAYAN MENINGGALKAN RUANGAN DAN GUSTI BIANG TETAP DUDUK DAN MENGAMBIL JARUM. BERULANG-ULANG MENGGOSOK MATA SAMBIL MENGGERUTU.
Adegan III
GUSTI BIANG
Lubangnya terlalu kecil. Benangnya terlalu besar, sekarang ini serba terlampau. Terlampau tua, terlampau gila, terlampau kasar, terlampau begini, terlampau begitu. Sejak kemarin aku tidak berhasil memasukkan benang ini. Sekarang mataku berkunang-kunang. Oh, barangkali toko itu sudah menipu lagi. Atau aku terbalik memegang ujungnya? Wayaaaaan ...
NYOMAN (Muncul Dengan Baki Di Tangannya Dan Lampu Teplok)
Bagaimana Gusti Biang? Sudah sehat rasanya.
GUSTI BIANG TIDAK MENGHIRAUKAN DAN TETAP MEMASUKKAN BENANG KE JARUMNYA
NYOMAN
Gusti Biang, ini air daun belimbing, bubur ayam yang sengaja tiyang buatkan untuk Gusti.
(Melihat Kesulitan Gusti Biang)
Mari tiyang tolong.
GUSTI BIANG
Waaayaaaaan ...
(Kaget Karena Sentuhan)
Ulaaaaar......
NYOMAN
Ya ya kenapa Gusti terkejut ini kan Nyoman ....
GUSTI BIANG
Kau? Kau
TERBATUK
NYOMAN
Nah, itu sebabnya kalau belum santap malam. Apalagi sejak beberapa hari ini Gusti sudah tidak mau minum jamu lagi, minum sekarang ya?
GUSTI BIANG
Kau .. kau setan, kukira ular belang jatuh dari pohon, bikin sakit jantungku kumat lagi.
NYOMAN
GUSTI BIANG takut sekali dengan ular, kenapa?
GUSTI BIANG
Binatang itu menggigit dan menjijikkan.
NYOMAN
Tapi tidak semua ular berbahaya.
(Tersenyum)
Tiyang juga takut pada ular.
GUSTI BIANG
Aku tak perduli. Apa tugasmu di sini?
NYOMAN
Sekarang sudah saatnya Gusti Biang minum obat.
GUSTI BIANG
Hari ini aku tak mau minum obat.
NYOMAN
Oh ya, baik tiyang tolong dulu Gusti memasukkan benang ke jarumnya.
GUSTI BIANG
Juga tidak. Kau tidak diperlukan di sini
NYOMAN (Memungut jarum di lantai)
Coba dari tadi memanggil tiyang, tidak jadi kusut begini. Gusti Biang terlalu sayang pada Bape Wayan. Lihat gampang bukan?
GUSTI BIANG
Kau jangan menyindir aku, tentu saja semuanya bisa begitu. Aku juga bisa mengerjakannya, tapi lobangnya yang terlampau sempit.
NYOMAN
Terlampau sempit? Piih, semua jarum dibuat kecil Gusti, makin halus makin mahal harganya
TERSENYUM
GUSTI BIANG
Siapa bilang? Itu tak ada lobangnya sama sekali, toko itu menjual kawat utuh kepadaku. Setan alas.
NYOMAN
Tak percaya? Coba sekali lagi.
GUSTI BIANG
Jangan berlagak di sini
(Mengacungkan tongkat).
Ini bukan arje roras! Aku sudah bosan dibohongi dengan sulapan palsumu. Kau pikir aku tak bisa menguasai jarum kecil itu, piih, lakiku sendiri tak pernah menghina aku demikian ...
NYOMAN
Ambilah Gusti Biang. Gusti boleh menyulam sekarang
(Melihat lampu).
Tapi di sini terlalu gelap
(Membesarkan).
Nah, sekarang sudah cukup terang. Ambil Gusti.
GUSTI BIANG
Tidak! Kau mulai menyulap aku lagi, aku tak sudi menyentuh barang sihirmu. Suasana kotor sekarang.
NYOMAN
Kalau begitu, tiyang ikatkan saja ujung benang ini ke kainnya, nanti Gusti Biang meneruskannya saja.
GUSTI BIANG
Pergi! Pergi! Nanti kupanggilkan Wayan supaya kau diusir ....
(NYOMAN TIDAK PERDULI, MENERUSKAN SULAMAN SAMBIL BERNYANYI KECIL)
GUSTI BIANG
Dewa Ratu .. Kau telah merusak sarung bantal anakku .... Waayaaannn.. Waayaaaaaan ....Dimana pula setan itu, Wayaaaan ....
NYOMAN
Sayang sekali Gusti Biang tidak menyuruh Tiyang yang mengerjakannya. Mestinya, ditengahnya bisa disulam dengan warna biru muda. Lalu dengan menulis rapih “Selamat malam kasih, selamat malam pujaan, selamat malam manis, good night my darling”.
GUSTI BIANG
Setan! Setan! Kau tak boleh berbuat sewenang-wenang di rumah ini. Berlagak mengatur
orang lain yang masih waras. Apa good, good apa? Good bye! Menyebut kekasih, manis, kau pikir apa anakku. Wayan akan menguncimu di dalam gudang tiga hari tiga malam, dan kau akan meraung seperti si belang.
NYOMAN
Aduh cantiknya Gusti Biang. Seperti seekor burung merak. Seperti lima belas tahun yang lalu ketika tiyang masih kecil dan sering duduk di pangkuan Gusti. Masih ingatkah Gusti?
GUSTI BIANG
Tak kubiarkan lagi kau bermain di pangkuanku, berak, ngompol. Memang aku ini pelayanmu?
NYOMAN
Gusti Biang memang orang yang paling baik dan berbudi tinggi. Tidak seperti orang-orang lain, Gusti. Gusti telah menyekolahkan tiyang sampai kelas dua SMP, dan Gusti sudah banyak mengeluarkan biaya. Coba tengok bayangan Gusti di muka cermin, seperti
tiga puluh tahun saja .. Mau minum obatnya sekarang Gusti?
GUSTI BIANG
Tidak!
NYOMAN
Tiyang cicipi ya? Cobalah Gusti Biang ... mmm segar.
GUSTI BIANG
Sepatahpun aku tak ingin bicara lagi denganmu.
NYOMAN
GUSTI BIANG, pil ini musti ditelan satu persatu. Pakai pisang ambon atau pisang susu, atau air. Pilih mana yang Gusti suka. Tidak pahit rasanya Gusti. Dan dalam tempo seperempat jam, Gusti akan merasa segar. Sesudah itu minum puyer ini, untuk menghilangkan pusing-pusing Gusti.
GUSTI BIANG
Tidak!
NYOMAN
Obat-obat ini dikirimkan dokter Gusti. Harus dihabiskan.
GUSTI BIANG
Tidak, tidak. Aku tahu semuanya itu. Kalau aku menelan semua obat-obatmu itu, aku akan tertidur seumur hidupku, dan tidak akan bangun-bangun lagi, lalu good bye. Lalu kau akan menggelapkan beras ke warung cina. Kau selamanya iri hati dan ingin membencanaiku ... Kalau sampai aku mati karena racunmu, Wayan akan menyeretmu ke pengadilan.
NYOMAN
Dan yang terakhir baru menggosok punggung dan seluruh anggota badan Gusti yang terbuka dengan minyak kayu putih.
GUSTI BIANG
Tidak, tidak. Tidak akan kubiarkan tubuhku ditelanjangi dan disentuh orang-orang yang kurang ajar. Aku bukan ibumu, aku bukan nenekmu.
NYOMAN
Nah sekarang kita mulai dengan tablet-tablet ini Gusti. Menurut resep boleh ditelan atau dihancurkan, mana yang Gusti pilih. Kita mulai dengan pil merah ini Gusti.
GUSTI BIANG
Dewa Ratu ....
NYOMAN
Sebaiknya ditelan saja Gusti, itu yang paling aman ....
GUSTI BIANG
Aku tak mau dibujuk, mana si Wayan kambing tua itu. Setan ini benar-benar mau meracuniku, Waaayaaaan ..
NYOMAN
Ayo cepat Gusti. Tidak akan merasa pahit dan sakit.
GUSTI BIANG
Wayan tolong Wayan.
NYOMAN
Letakkan saja di atas pisang di ujung lidah. Lantas pejamkan mata. Lihat, dan secepat kilat akan meluncur Gusti.
GUSTI BIANG
Ah ... racunlah dirimu sendiri, gosok punggungmu sendiri. Buat apa kau meributkan benar penyakit orang lain. Itu tugas dokter di rumah sakit, dan bukan tugas penyeorangan seperti engkau .... Kalau memang aku sakit, aku akan berbaring di kamarku, dan memanggil Wayan supaya memijat keningku. Tidak ada yang salah kalau lelaki itu di sini. Wayaaaan
..Wayaaaan, lehermu akan diputar nanti.
NYOMAN
Kenapa Gusti Biang jadi seperti ini, Gusti mengecewakan tiyang.
GUSTI BIANG
Sakit gede, seumur hidupmu. Kalau akhirnya aku mati karena racunmu, awas-awaslah, rohku akan membalas dendam. Aku akan diam di batang-batang pisang dan di batu-batu besar, dan akan mengganggumu sampai mati. Tiap malam, bila malam bertambah malam. Setan, pergi kau, pergi. Sebelum kulempar dengan tongkat ini, pergi!
NYOMAN
Baiklah Gusti. Baiklah Gusti, tak apalah. Tapi tentunya Gusti lebih senang kalau puyer ini yang diminum lebih dahulu, baru kemudian menyusul pil-pil yang lain, atau Gusti ingin bersantap malam dulu. Percayalah Gusti, tidak akan terjadi apa-apa.
GUSTI BIANG
Wayaaaaaan ... Wayaaaaa. Tolong Wayaaaaaan ...
NYOMAN
Lihat Gusti. Gusti sudah merusak badan Gusti sendiri dengan berteriak-teriak.
GUSTI BIANG
Pergi kau leak. Pergi pergi ...pergi ...
NYOMAN
Gusti telah menyakiti tiyang lagi. Saya akan pergi. Saya akan pergi sekarang juga.
GUSTI BIANG
Ya, pergi kau sekarang juga. Bedebah. Leak. Pil-pil tiap hari dicekoki pil.
NYOMAN
Waktu putra Gusti pergi lima tahun lalu. Ide berpesan pada tiyang. Jaga baik-baik ibuku NYOMAN, peliharalah kesehatannya, jangan biarkan beliau menderita. Sekarang Gusti Biang dinyatakan sakit. Gusti harus berobat.
GUSTI BIANG
Diam! Diam!
NYOMAN
Baiklah kalau begitu
(Hendak pergi)
Gusti tidak usah berobat. Ya, apa peduli tiyang, segera Gusti akan terkapar lesuh. Malam akan bertambah malam jua
SAMPAI DI PINTU IA BERBALIK DAN MENDEKATI MEJA
GUSTI BIANG
Apa perdulimu?
NYOMAN
Tapi semua itu akan segera hilang ...Kalau Gusti mau meneguk air daun belimbing ini. Jamu ini diramu berdasarkan petunjuk dukun kesayangan Gusti Biang. Tiyang sudah mencampurnya dengan akar-akaran yang harum dan akan menguatkan badan. Pasti Gusti Biang tidak akan batuk lagi. Gusti Minumlah .....
GUSTI BIANG
Kau memang setan licik!
(Berteriak hendak memukul. Nyoman menarik dari belakang)
Lepaskan! Lepaskan leak! Wayan, Wayaaaan
NYOMAN BERHASIL MENDUDUKKAN GUSTI BIANG DI KURSI TAPI GUSTI BIANG MEMUKUL BERTUBI-TUBI DAN NYOMAN BERLARI KE SUDUT RUANG
NYOMAN
Cukup! Cukup! (Berlari mengelilingi meja)
GUSTI BIANG (Terus memukuli Nyoman dan Nyoman merebut tongkat)
Wayan tolong Wayaaaan ...
NYOMAN
Tak tiyang sangka Gusti sudah seberat ini! Tak tiyang sangka. Tiyang akan pergi ke desa, tak mau meladeni Gusti lagi!
GUSTI BIANG
Pergi leak! Aku sama sekali tidak menyesal!
NYOMAN (Berlari keluar)
Tiyang tidak akan kembali lagi!
GUSTI BIANG
Pergi sekarang juga! Wayaaan Wayan tua ...
(Duduk)
Ratu Singgih, moga-moga tulahlah perempuan itu, Wayaaan ..........
Adegan IV
WAYAN MASUK
WAYAN
Kalau tak salah seperti ada yang berteriak ...
GUSTI BIANG
Tua bangka, ke mana saja kau tadi, kenapa baru datang?
WAYAN
Tiyang ketiduran di gudang.
GUSTI BIANG
Kejar setan itu, putar lehernya! .. Kejar dia goblok!
WAYAN
Mana ada setan sore-sore begini Gusti?
GUSTI BIANG
Kejar perempuan setan itu.
WAYAN
Perempuan, perempuan yang mana Gusti?
GUSTI BIANG
Begundal itu! Masukkan dia ke gudang!
WAYAN
Maksud Gusti, Nyoman?
GUSTI BIANG
Usir dia dari rumah ini!
WAYAN Tetapi ... tetapi ...
GUSTI BIANG
Tua bangka, pukul dia sampai mati, putar lehernya. Diam saja seperti kambing!
WAYAN (Tertawa)
Gusti, Gusti, tidak ada kambing di sini!
GUSTI BIANG
Kau juga tidak waras!
WAYAN
Tetapi, memukul? Memutar leher?
GUSTI BIANG
Penakut!
WAYAN
Tidak, titiyang tidak takut sama leak atau memedi, tetapi memutar leher Nyoman, piih, lebih baik memutar leher tiyang sendiri. Perawan yang begitu cantik, baik, mahal.
GUSTI BIANG
Dia mau meracunku.
WAYAN
Meracun? Masak, ada yang berniat meracun Gusti.
GUSTI BIANG
Kau tukang ngotot.
WAYAN
Jangan gampang marah Gusti, itu cuma angan-angan. Sabarlah. Kalau usia sudah lanjut, tambahan lagi penyakitan, tak baik marah-marah malam begini!
GUSTI BIANG
Bedebah! Anjing ompong! Setelah mengusir dia aku akan mengutuk kau, biar ,mati kelaparan di pinggir kali.
WAYAN
Baik, kutuklah tioyang. Usir sekarang, tapi jangan menyuruh menyakiti orang dalam usia lanjut. Orang sedang bertapa dan bertobat disuruh mukul orang. Kalau ular belang atau ular hijau, cacing tanah atau ulat bulu, Wayan akan bunuh untuk keselamatan Gusti seperti tiga bulan lalu. Gusti duduk di sini dan titiyang di sana di bawah pohon sawo. Tiba-tiba Gusti Biang berteriak “ULAR”. Sekejab mata ular itu telah menjadi delapan potong, ya tidak?
GUSTI BIANG
Ular ...?
WAYAN
Jangan takut. Ular kelihatannya saja berbahaya, tapi sebenarnya binatang yang paling pemalu dan lucu. Titiyang sendiri sering menyimpan ular sawah dalam saku untuk dibelai pada waktu senggang, ...Oh mana ya? Ular sawah tak mengandung bisa, Gusti jangan takut ...
(Merogoh kantongnya)
Ah, ini dia.
GUSTI BIANG
Ulaaaarrrrr.
GUSTI BIANG LARI, WAYAN MENGGELENG-GELENGKAN KEPALA MENDENGAR JANDA BANGSAWAN ITU MEMAKI-MAKI. MALAM BERTAMBAH LARUT
BABAK II
HALAMAN RUMAH MALAM. WAYAN SEDANG MENGENANG MASA-MASA MUDANYA.
Adegan I
WAYAN MENEMBANG PELAN-PELAN. TIBA-TIBA MELIHAT SOSOK TUBUH, LALU MENGHAMPIRI.
WAYAN
Mau ke mana Nyoman?
NYOMAN
Pulang ke desa.
WAYAN
Malam-malam begini?
NYOMAN
Apa salahnya?
WAYAN
Kau akan kemalaman di jalan.
NYOMAN
Aku tidak takut.
WAYAN
Banyak orang jahat sekarang.
NYOMAN
Biar saja, daripada saya sakit tinggal di sini.
WAYAN
Besok sajalah pagi-pagi, bape akan mengantarmu dengan
bus. Oh ya, kau belum dapat ijinkan?
NYOMAN
Biar.
WAYAN
Kapan kau akan balik? Kenapa tergesa-gesa? Bape tidak marah Nyoman. Bape bersumpah lebih baik mati dimakan leak daripada memukul engkau. Kenapa tiba-tiba saja pulang?
NYOMAN
Saya dipukul, saya diusir, buat apa tinggal di sini kalau tidak disukai.
WAYAN
Nyoman. Nyoman sudah biasa tinggal di sini, kau tak akan betah tinggal di sana. Nanti kamu akan rusak di sana.
NYOMAN
Tapi di sana orangnya baik-baik. Saya tidak pernah dipukul, saya lebih senang tinggal di situ, biar cuma makan batu.
WAYAN
Daripada makan batu lebih baik tinggal di sini, makan minum cukup, ada radio, bisa nonton film India.
NYOMAN
Tapi kalau tertekan seperti binatang? Dimarahi, dihina, dipukul seperti anak kecil!
WAYAN
Tapi NYOMAN harus mengerti, kita berhutang budi pada Gusti Biang.
NYOMAN (Pelan-pelan)
Memang, saya banyak berhutang budi, dikasih makan, disekolahkan, dibelikan baju, dimasukkan kursus modes, tapi kalau tiap hari dijadikan bal-balan, disalah-salahkan terus? Sungguh mati kalau tidak dikuat-kuatkan, kalau tidak ingat pesan tu Ngurah, sudah dari dulu-dulu sebetulnya.
WAYAN
Aduh, apa nanti yang mesti bape katakan kalau dia menanyakan .... ”Di mana Nyoman Bape?” Nah, apa yang akan Bape jawab?
NYOMAN
Ide sudah lupa sama icang Bape, di sana banyak bintang-bintang pilem, pasti dia sudah lupa. Nulis surat aja tidak.
WAYAN
Tidak, dia tidak begitu?
NYOMAN
Siapa bilang begitu?
WAYAN
Aku tidak bilang. Ha .. ha .. pasti dia tidak akan begitu. Kalau sampai begitu, aku yang tanggung jawab. Makanya jangan pulang, sini barangnya..
NYOMAN
Akan saya tunggu di desa saja.
WAYAN
Sudahlah, dia cuma orang tua bangka. Umurnya hampir tujuh puluh tahun. Kenapa Nyoman pusing benar kepadanya?
Adegan II
SUARA GUSTI BIANG MENCARI NYOMAN, GUSTI BIANG MUNCUL DAN NYOMAN MENGHAMPIRI WAYAN.
NYOMAN
Saya pergi Bape, tidak bisa tahan lagi, saya sudah bosan.
GUSTI BIANG
Jangan biarkan dia membawa bungkusan itu! Tahan dia Wayan.
WAYAN
Tentu Gusti Biang.
NYOMAN
Baik, titiyang akan pergi.
GUSTI BIANG
Suruh dia pergi goblok, jangan biarkan dia mencuri bungkusan itu. Itu bukan kepunyaannya.
WAYAN
Tapi itu pakaiannya sendiri Gusti.
GUSTI BIANG
Dulu ketika kubawa kemari, dia cuma pakai kain rombeng. Ambil segera Wayan! Sakit gede.
NYOMAN
Baik, ambil saja Bape Wayan.
GUSTI BIANG
Nanti dulu.
NYOMAN
Apa lagi yang Gusti kehendaki?
GUSTI BIANG
Wayan!
WAYAN
Ya, ada apa Gusti?
GUSTI BIANG
Simpan bugkusan itu, jangan goblok kamu, lalu ambil buku besar, catatan keluar masuk, dari dalam lemari, ini kuncinya. Cepat!
WAYAN
Ah, catatan keluar masuk? Baru sekali ini titiyang mendengarnya .....
GUSTI BIANG
Ambil cepat goblok.
WAYAN
Tapi buku besar yang mana Gusti?
GUSTI BIANG
Tolol kamu ini! Buku besar di dalam lemari yang berwarna hijau.
WAYAN
Oh. Gusti Biang Ayo cepat!
Adegan III
WAYAN MASUK MEMBAWA BUNGKUSAN. GUSTI BIANG BERTOLAK PINGGANG, NYOMAN MEMPERHATIKAN DENGAN SANGAT BENCI.
GUSTI BIANG
Perempuan tak tahu balas budi. Tidak tahu berterima kasih, dikasih makan tiap hari malah durhaka. Disekolahkan malah jadi lawan. Maling, ular, mau meracun.
NYOMAN
Katakan sepuas-puasnya Gusti Biang.
GUSTI BIANG
Aku mau diracunnya, terlalu. Akan kuadukan kau kepada polisi. Gila!
NYOMAN
Gusti sendiri yang menyiksa tiyang.
GUSTI BIANG
Dasar penjilat! Kuberhentikan kau sekolah karena kau main mata dengan guru dan tukang kebun sekolah itu.
NYOMAN
Bohong! Itu hasutan anak Gusti Biang sendiri.
GUSTI BIANG
Benar!
NYOMAN
Bohong!
GUSTI BIANG
Benar, kau memang liar, genit, dan licik serta apa saja yang jelek-jelek.
NYOMAN
Baik, baik, tapi kau juga genit.
GUSTI BIANG
Apa katamu?
NYOMAN
Kau juga genit, kau ...
GUSTI BIANG
Apa katamu leak? Wayan akan memutar lehermu!
NYOMAN
Wayan akan memutar lehermu!
GUSTI BIANG
Dia akan menguncimu dalam gudang!
NYOMAN
Dia akan menguncimu dalam gudang!
GUSTI BIANG
Setan! Akan kucarikan kau polisi!
NYOMAN
Polisi itu akan membawakan Gusti ular belang.
GUSTI BIANG
Diam! Diam!
(Nyoman hendak pergi meninggalkan gusti biang, tapi gusti biang Mencegahnya)
Jangan pergi! Jangan duduk! Jangan bergerak!
NYOMAN (Berhenti lalu mendekat dan memandang Gusti Biang dengan marah)
Gusti Biang, tiyang bosan merendahkan diri, dulu tiyang menghormati Gusti karena usia Gusti lanjut. Tiyang mengikuti semua apa yang Gusti katakan, apa yang Gusti perintahkan meskipun tiyang sering tidak setuju. Tetapi Gusti sudah keterlaluan sekarang. Orang disuruh makan tanah terus-menerus, Gusti anggap tiyang tak lebih dari cacing tanah. Semutpun kalau diinjak menggigit, apalagi manusia, Gusti yang seharusnya agung, luhur, menjadi tauladan tapi seperti ...
GUSTI BIANG
Seperti apa?
NYOMAN
Orang kebanyakan saja mempunyai kasih sayang dan menghargai orang lain. Tapi Gusti, di mana letak keagungan Gusti? Cobalah Gusti berjalan di jalan raya seperti sekarang, Gusti akan ditertawakan oleh orang banyak. Sekarang orang tidak lagi diukur dari keturunan tapi kelakuan dan kepandaianlah yang menentukan. Sekarang tidak hanya bangsawan, semua orang berhak dihormati kalau baik. Begitu mestinya.
GUSTI BIANG
Begitu mestinya. Bohong! Bohong tolol!
NYOMAN
Memang tiyang tolol. Buat apa mengatakan ini semua. Gusti sudah terlalu lanjut, akan terlalu sakit untuk mengubah kebiasaan Gusti. Tapi seandainya mencoba, mencoba saja, saya akan mau di sini mengabdi untuk selamanya.
GUSTI BIANG (Meludah)
Ha.. ha .. kau tidak perlu pidato omong kosong, kau perempuan sudra. Kau akan kena tulah
karena berani menentangku, hei cepat Wayan!
Adegan IV
WAYAN MUNCUL DENGAN BUKU DITANGANNYA
GUSTI BIANG
Nah, sekarang sebelum kau pergi, kau harus melunasi hutangmu dulu.
NYOMAN
Hutang apa? Nyoman tidak pernah meminjam uang.
GUSTI BIANG
Buka bagian yang bertuliskan tinta merah, Wayan, cepat Wayan!
WAYAN (Tampak bingung membalik-balik buku)
Nanti dulu, piih. Nah ini dia.
GUSTI BIANG
Baca perlahan dengan jelas. Baca kataku!
WAYAN (Masih bingung, mendekatkan lampu)
Piih, mata tiyang kurang terang, sebentar, piih kenapa belum terang juga, kabur Gusti.
WAYAN
Gusti lupa, Wayan tak pernah belajar membaca.
GUSTI BIANG
Setan bawa kemari buku itu!
(gusti biang mengambil buku itu dan memberi isyarat kepada wayan agar mengambil kaca mata dan lampu teplok. wayan segera melakukannya dan mengangkat lampu teplok tinggi-tinggi)
Nah, di sini dicatat semua perongkosan yang kau habiskan selama kau dipelihara di sini. Nyoman Niti, asal dari desa Maliling, umur lebih kurang delapan belas tahun. Kulit kuning dan rambut panjang. Badan biasa, lebih tinggi sedikit dari Gusti Biang. Mulai dari tahun lima puluh empat, lima pasang baju, sebuah boneka, sebuah bola bekel, satu biji kelerang, satu tusuk konde, dan ...
WAYAN (Memotong)
Benar, piih, semua Gusti catat.
NYOMAN
Gusti Biang ....
GUSTI BIANG
Tahun lima puluh lima, sekarang! Dua baju rok, batu tulis, kebaya, pinsil, satu batang jarum, sepasang teklek, tikar dan seekor anak kucing belang.
WAYAN
Ah, benar Gusti Biang, titiyang masih ingat sekali ketika pertama kali Nyoman mengenakan kain kebaya. Piih, semuanya itu sudah lewat.
GUSTI BIANG
Selama dua tahun ini sudah berjumlah dua juta rupiah ... kemudian sekarang tahun lima puluh enam! Tidak ada, sebab aku lupa mencatatnya. Tahun lima puluh tujuh, aku juga lupa mencatatnya. Tetapi di sini yang kuingat, ia memecahkan sebuah cangkir dan kaca mataku. Lalu tahun lima puluh delapan! Sepasang sandal, sekotak bedak, kaca jendela dipecahkannya, dua buah gelas tiba-tiba menghilang, sekilo daging dimakan si belang karena
lupa mengunci dapur. Tiga buah sisir, tiga butir kelapa hilang. Seekor ayamku yang paling baik disembelihnya, sepuluh anak ayam tiba-tiba mati, yang bulu putih, hitam, coklat, kuning, dan berumbun. Lalu ...
WAYAN
Tapi semua itu tak bisa dipertanggungjawabkan kepada Nyoman, Gusti, itu adalah kesalahan induknya yang tidak berhati-hati menjaga anaknya. Bukan kesalahan Nyoman.
GUSTI BIANG
Diam! Diam kataku! Ini adalah urusanku, nanti kau akan mendapat bagianmu sendiri. Nah, ongkos hidupmu hampir delapan belas tahun di sini, benar-benar sudah kelewat batas. Coba lihat di sini, tahun enam puluh misalnya .. memecahkan kaca jendela, korupsi sabun, menghanguskan nasi, korupsi uang belanja dapur dan pekerjaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Beberapa kali aku memanggil mantri untuk mengobatinya,
membeli obat waktu ia sakit. Banyak, banyak sekali, itu belum ditambah yang lain-lain yang aku lupa catat. Belum lagi ditambah bunganya ...
WAYAN
Piih, ini perhitungan gila!
GUSTI BIANG (Berkata sungguh-sungguh)
Semua telah aku catat bersama tanggal dan hari kejadiannya. Sekarang kau boleh pergi. Kapan-kapan aku dan Wayan akan datang ke tempatmu dengan seorang polisi dan juru
sita sebab kau pasti tidak bisa membayar. Kau cuma punya gubuk yang buruk di desa dan tak pernah makan nasi. Rentenya sepuluh persen sebulan. Nah, bawa buku ini lagi ke dalam Wayan. Simpan baik-baik untuk dipergunakan kelak. Lalu usir dia! Apa yang kau tunggu lagi? Ambil buku ini, dan usir dia!
WAYAN TAK MENERIMA, IA MENDEKAT KE MEJA DAN MELETAKKAN LAMPU TEPLOK KEMUDIAN BERJONGKOK
WAYAN
Titiyang tak kuasa. Badan titiyang lemas. Gusti telah, mencatat hutang-hutang titiyang pula. Berapa semuanya Gusti?
GUSTI BIANG
Sudah tak terhitung lagi, hampir dua puluh juta!
WAYAN
Piih, titiyang punya nyawapun tak ada harganya dua puluh juta, Gusti, titiyang benar-benar ingin menangis sekarang.
GUSTI BIANG
Usir dia sekarang juga, jangan ngarje roras di sini.
(Melihat Wayan masih jongkok)
Apa? Baik aku sendiri yang mengusirnya kalau kau tak mau.
NYOMAN
Tidak usah disuruh Gusti, tiyang memang mau pergi sekarang. Tetapi sebelum titiyang pergi, tiyang hitung berapa hutang Gusti kepada tiyang.
GUSTI BIANG
Oh, aku tak pernah pinjam uang sepanjang hidupku..
NYOMAN
Lebih dari sepuluh tahun tiyang menghamba di sini. Bekerja keras dengan tidak menerima gaji. Kalau tidak ada Bape Wayan sudah lama tiyang pergi dari sini. Selama ini tiyang telah membiarkan diri diinjak-injak, disakiti, dijadikan bulan-bulanan seperti keranjang sampah. Tidak perlu rentenya, pokoknya saja. Hutang Gusti Biang kepada tiyang, sepuluh juta kali sepuluh tahun. Belum lagi sakit hati tiyang karena fitnahan dan hinaan Gusti. Pokoknya melebih harta benda yang masih Gusti miliki sekarang. Tapi ambillah semua itu sebagai tanda bakti tiyang yang terakhir.
GUSTI BIANG
Pergiiii! Pergiiii!
NYOMAN MENGHAPUS AIRMATA DAN BERLARI KE LUAR PINTU! JANDA BANGSAWAN ITU MENGAWASINYA DENGAN MENGANGKAT LAMPU TEPLOK
Adegan V
WAYAN YANG DUDUK MEMBELAKANGI GUSTI BIANG TIDAK TAHU KALAU NYOMAN TELAH PERGI
WAYAN (Bergumam)
Satu milyar kali sepuluh tahun? Aneh-aneh saja pembukuan jaman sekarang!
GUSTI BIANG (Mendekati Wayan)
Jangan cerewet Wayan. Awasi dia supaya jangan kembali kemari, kau dengar?
WAYAN
Sabar Gusti, kenapa Gusti gelap mata? Gusti telah menghantam semua orang dengan hutang. Satu milyar dan ..
(Menoleh ke belakang dan heran)
Piih, di mana Nyoman, Gusti?
GUSTI BIANG
Dia sudah pergi, buta. Dia tidak akan mengganggu
kita lagi ....
WAYAN
Maksud Gusti, dia sudah pergi dan titiyang tidak melihatnya?
GUSTI BIANG
Ya, kita sudah terlepas dari bahaya ....
WAYAN
Terlepas? Justru bahaya itu sekaranglah baru mulai Gusti.
GUSTI BIANG (Tertawa geli)
Tenang Wayan. Jangan pikirkan yang dua puluh juta itu, aku cuma pura-pura.
WAYAN (Beringas)
Titiyang tidak memikirkan titiyang punya diri, titiyang memikirkan putra Gusti Biang.
GUSTI BIANG
Bagus Wayan. Ah, mana kaca mata itu. Segera kita akan baca berita yang dikirimnya.
WAYAN
Dia akan mengumpat titiyang dan akan mengalungkan ular karena keteledoran titiyang. Ke
mana tadi perginya Gusti? Titiyang akan mengejarnya.
GUSTI BIANG
Apa maksudmu Wayan?
WAYAN
Buta! Tuli! Pikun! Piih! Dunia! Dunia ...
GUSTI BIANG (Panik)
Katakan, kenapa dia Wayan? Ya katakan, katakan apa maksudmu.
WAYAN (Menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kesal)
Nyoman niti, gusti biang.
GUSTI BIANG
Ya, Nyoman begundal itu, kenapa dia?
WAYAN
Gusti, Nyoman adalah tunangan Ngurah, calon menantu Gusti Biang sendiri, berani sumpah, Nyoman adalah tunangan Ngurah. Ratu Ngurah sendiri yang mengatakannya. “Aku akan mengawini Nyoman Bape” katanya. “Biar hanya orang desa, pendidikannya rendah tapi hatinya baik, daripada ...” biar dimakan leak. Demi apa saja!
GUSTI BIANG
Tidak, semua itu hasutan. Anakku tidak akan kuperkenankan kawin dengan bekas pelayannya. Dan, kami keturunan ksatria kenceng. Keturunan raja-raja Bali yang tak boleh dicemarkan oleh darah sudra.
WAYAN
Tapi kalau Ratu Ngurah menghendaki, bagaimana?
GUSTI BIANG
Bisa saja dipelihara sebagai selir. Suamiku dulu memelihara lima belas orang selir. Kalau tidak, jangan mendekati anakku.
WAYAN
Tapi mereka saling mencintai!
GUSTI BIANG
Cinta? Apa itu cinta, itu hanya ada dalam kidung-kidung Smarandanamu.
WAYAN
Kalau begitu alamat akan perang.
GUSTI BIANG
Perang, apa maksudmu? Perang sudah selesai, tidak ada perang lagi!
WAYAN
Wayan tidak mau kehilangan tongkat dua kali.
GUSTI BIANG
Ngurah tidak akan sudi menjamah perempuan dekil itu.
WAYAN
Ratu Ngurah benar-benar mencintai Nyoman, Gusti Biang.
GUSTI BIANG
Bohong!
WAYAN
Baik, bacalah surat itu kalau tidak percaya!
GUSTI BIANG
Surat? Ini surat Ngurah, aku terima tadi.
WAYAN
Sudah lima hari yang lalu!
GUSTI BIANG
Tapi! Kau keterlaluan!
WAYAN
Coba baca!
(GUSTI BIANG MEMBACA DEKAT LAMPU TEPLOK DAN WAYAN MENDENGARKAN DENGAN TENANG)
GUSTI BIANG
Swatiastu, ibunda tercinta .... Kalau aku bilang tadi, kamu bilang sudah lima hari, apa saja yang aku katakan kamu lawan! Dewa Ratu, dengarlah Wayan. Betapa pinternya ia menghormati
(Membaca lagi)
dengan singkat ananda kabarkan bahwa ananda segera pulang. Ananda telah merencanakan
berunding dengan ibu. Sudah masanya sekarang ananda menjelaskan. Meskipun ananda belum menyelesaikan pelajaran, bahkan mungkin ananda akan berhenti sekolah saja, sebab tak ada lagi gunanya. Ananda hendak menjelaskan kepada ibu bahwa ananda tidak bisa lagi berpisah lebih lama. Rahasia ini ananda simpan sejak lama. Supaya ibu tidak kaget nanti, akan saya terangkan bahwa ananda bermaksud, ananda bermaksud ... ananda
bermaksud
MENGULANG SAMBIL MENDEKATKAN LAMPU TEPLOK
WAYAN
Bermaksud apa?
GUSTI BIANG
Bermaksud, bermaksud ...
WAYAN
Ya bermaksud apa? Baca terusnya Gusti Biang.
GUSTI BIANG (Tiba-tiba surat itu jatuh dari pegangannya)
Jadi, dia benar-benar mau kawin dengan perempuan itu?
WAYAN
Ya!
GUSTI BIANG
Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras, Ngurah harus kawin dengan orang patut-patut. Sudah kujodohkan sejak kecil dia dengan Sagung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarganya di sana, kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai orang tua seperti itu. Apapun yang terjadi dia harus terus menghargai
martabat yang diturunkan oleh leluhur-leluhur di puri ini. Tidak sembarang orang dapat dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-benar menjaga martabat ini. Oh, aku akan malu sekali, kalau dia mengotori nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri daripada menahan malu seperti ini. Apa nanti kata Sagung Rai? Apa nanti kata keluarganya kepadaku? Tidak, tidak!
(Wanita Itu Menjerit Dan Mendekati Wayan Dengan Beringas)
Kau, kau biang keladi semua ini. Kau yang menghasut supaya mereka bertunangan. Kau sakit gede!
WAYAN
Tidak, titiyang tidak ikut campur Gusti Biang.
GUSTI BIANG
Ya, kaulah hantu yang memburu hidupku. Aku masih ingat kejadian jaman dulu. Waktu aku masih muda dan kau memburuku dengan mata buayamu itu, kau memang licik! Dasar manusia sudra! Kau menghasut anakku supaya kawin dengan Nyoman karena kau sendiri gagal!
WAYAN
Siapa bilang tiyang gagal!
GUSTI BIANG
Suamiku yang telah menggagalkan kau.
WAYAN
Suami GUSTI BIANG seorang pembohong!
GUSTI BIANG
Bedebah! Berani kau menghina pahlawan di puri
ini?
WAYAN (Tertawa pehit. Wajahnya menjadi keras)
Pahlawan? Pahlawan apa? Siapa yang mengatakan dia pahlawan?
GUSTI BIANG
Semua mengatakan dia pahlawan! Dia telah berjuang untuk kemerdekaan dan mati ditembak Nica!
WAYAN
Itu bohong! Orang-orang seperti dia yang menggabungkan diri dalam pasukan Gajah Merah memang pantas disebut pahlawan, Pahlawan penjajah! Orang-orang seperti dia telah menikam perjuangan dari belakang.
GUSTI BIANG
Pergi! Pergi bangsat! Angkat barang-barangmu. Tinggalkan rumah suamiku ini. Aku tak sudi memandang mukamu!
MELEMPARI WAJAH WAYAN DENGAN BOTOL
WAYAN
Baik aku akan pergi sekarang. Aku akan menyusul Nyoman. Aku juga bosan di sini meladeni tingkah lakumu. Tapi sebelum aku pergi akan aku jelaskan tentang pahlawan gadungan itu. Gusti harus tahu ....
GUSTI BIANG (Memotong)
Tidak! Aku tidak mau mendengar. Kau telah menghina suamiku. Ini tidak bisa dimaafkan
lagi. Pergi! Pergi! Sebelum aku mengutukmu, pergi! Rumah ini kepunyaanku, tinggalkan gudangku itu, pergi bedebah!
WAYAN
Benar?
GUSTI BIANG
Pergi leak! Jangan kau menggangguku lagi. Pergi!
WAYAN
Baik, tiyang akan pergi Gusti Biang.
WAYAN MENINGGALKAN RUANGAN, GUSTI BIANG MELONTARKAN KUTUKAN
GUSTI BIANG
Tinggalkan gudang itu sekarang juga. Enyah dari rumah suamiku.
(Agak rendah, jongkok)
dia sudah menjadi setan, suamiku dihinanya, anakku dihasutnya. Terkutuk, terkutuk bedebah itu. Apa yang harus aku katakan kepada Sagung Rai kalau Ngurah kawin dengan perempuan sudra itu? Bedebah, terkutuk! Dewa Ratu, malangnya nasib orang tua ini, semua mendustaiku, semua orang menjadi binatang.
MEMANDANG SEKELILING LALU DUDUK DI KURSI. UNTUK BEBERAPA SAAT IA TERTIDUR DI KURSI ITU
BABAK III
TEMPAT TIDUR GUSTI BIANG
Adegan I
GUSTI BIANG
tertidur ketika Ngurah masuk.
NGURAH
Ibu ...
GUSTI BIANG
Siapa?
NGURAH
Tiyang Ngurah, Tiyang datang Ibu ....
GUSTI BIANG
Ngurah?
NGURAH
Yah! Ngurah, bangun ibu.
GUSTI BIANG (Mengusap matanya tak percaya lalu terbelalak sambil tersenyum)
Ngurah .. Ngurah, kenapa kau baru pulang, kau sudah lupa pada ibumu. Kurang
ajar, aku telah dihina, direndahkan, leak. Kalau kau ada di rumah, mereka tidak akan berani. Semua orang sudah pergi, tak ada yang merawatku. Kamu jadi kurus hitam, seperti kuli.
NGURAH
Ya, saya bekerja di situ.
GUSTI BIANG
Bekerja? Katanya belajar kenapa bekerja?
NGURAH
Ya, bekerja sambil belajar.
GUSTI BIANG
Karena itu kamu gagal.
NGURAH
Ibu, banyak sekali yang saya pikirkan.
GUSTI BIANG
Tapi kau tak pernah memikirkan ibumu.
NGURAH
Justru karena tiyang memikirkan ibu jadi begini.
GUSTI BIANG
Kau memikirkan ibumu kalau kau perlu uang. Itu
barang-barangmu?
NGURAH
Ya.
GUSTI BIANG
Itu koper yang ibu belikan dulu?
NGURAH
Ya, betul ibu.
GUSTI BIANG
Koper itu bisa kau jaga, tapi tujuanmu ke sana tidak. Mana barang-barangmu yang lain?
NGURAH
Masih ada di pondokan.
GUSTI BIANG
Mengapa kau tinggalkan di situ, apa kau akan kembali ke situ?
NGURAH
Saya tidak tahu. Semua tergantung ...
GUSTI BIANG
Tergantung apa?
NGURAH
Entahlah, keadaan tentunya saja.
GUSTI BIANG
Ibu kira kau sudah jadi orang, ternyata? Mana cincinmu?
NGURAH
Cincin?
GUSTI BIANG
Waktu berangkat dulu kau ibu kasih tiga buah cincin peninggalan ayahmu, mana sekarang?
NGURAH
Masih ada....
GUSTI BIANG
Ada di tukang gadai? Aku sudah tahu kelakuan anak-anak yang mengaku-ngaku sekolah tapi nyatanya hanya nonton bioskop. Aku sudah dapat firasat buruk, kalau barang peninggalan leluhurmu sudah kau perlakukan seperti itu. Jangan-jangan kau akan ikut merendahkan dan menghina ibumu ini. Buat apa kau pergi jauh-jauh kalau untuk bertambah
bodoh, untung kau tidak membawa perempuan dari sana, seperti Ngurah Purname di puri Anom. Aku bisa mati berdiri. Kalau cuma perawan, perawan macam apapun di sini ada, tinggal pilih saja. Tapi tidak ada yang lebih cantik, lebih halus, lebih rajin dari Sagung Rai di seluruh puri-puri di Tabanan ini. Sekarang dia sudah besar dan cantik sekali. Besok kamu harus ke sana membawa oleh-oleh.
NGURAH
Ibu, ibu bicara apa itu?
GUSTI BIANG
Kau sudah besar dan pantas kau memberikan aku cucu, sebelum kelewatan. Hanya itu yang aku tunggu sekarang.
NGURAH
Nanti saja kita bicarakan itu.
GUSTI BIANG
Tidak. Sekarang! Apa oleh-olehmu untuk Sagung Rai? Ha..ha kamu juga tidak membawa apa-apa buat ibu bukan?
NGURAH
Maaf ibu.
GUSTI BIANG
Tapi kamu pasti tidak lupa membelikan begundal itu klompen, baju brokkat, kaca mata, de colognet, gincu, tas, ha! Aku minta balsem cap macan saja tidak digubris. Perempuan kurang ajar!
NGURAH
Perempuan? Perempuan siapa ibu?
GUSTI BIANG
Putar-putar! Aku sudah menerima suratmu.
NGURAH
Ya, nanti saja kita bicarakan.
GUSTI BIANG
Kau sendiri yang menulis kan?
NGURAH
Ya.
GUSTI BIANG
Kau ingat apa yang kau tulis? Benar semua itu?
NGURAH
Ya, nanti, nanti kita bicarakan.
GUSTI BIANG
Nanti atau sekarang sama saja, benar Ngurah kau yang menuliskan surat itu?
NGURAH
Sebentar ibu, tiyang akan jelaskan.
GUSTI BIANG
Ngurah kau anak durhaka!
NGURAH
Ibu, tenanglah ibu.
GUSTI BIANG
Tidak! Kalau masih berniat kawin dengan dia, jangan coba-coba memasuki rumah ini, dan kalau kawin juga dengan dia, jangan lagi menyebut ibu kepadaku.
NGURAH
Tenang, mari kita bicarakan nanti baik-baik, tiyang sudah lelah. Semuanya nanti kita bicarakan.
GUSTI BIANG
Ibu pun sangat lelah. Tak ada waktu lagi berpanjang-panjang. Sebelum ini berakar menjadi sakit hati, kita harus meyelesaikannya, sekarang juga harus selesai!
NGURAH
Begitukah keputusan ibu?
GUSTI BIANG
Ya.
NGURAH
Tiyang ingin istirahat dulu.
GUSTI BIANG
Kau boleh berbuat sesukamu kalau semuanya sudah beres. Ini adalah rumahku dan kau adalah ahli waris satu-satunya.
NGURAH
Baiklah, kalau itu yang ibu kehendaki.
HENDAK DUDUK
GUSTI BIANG
Kau tak perlu duduk! Ibu sendiri tak akan duduk sebelum semuanya selesai dengan baik. Kita akan selesaikan sekarang. Jadi kau bermaksud kawin dengan penjeroan itu?
NGURAH
Begini ibu ...
GUSTI BIANG
Jawab saja dengan singkat. Benar kau mau mengawininya? Jawab Ngurah. Jawab!
NGURAH
Ya, titiyang akan mengawininya.
GUSTI BIANG
Ngurah! Kau sudah diguna-gunanya.
NGURAH
Kami saling mencintai ibu.
GUSTI BIANG
Cinta? Ibu dan ayahmu kawin tanpa cinta. Apa itu cinta? Yang ada hanyalah kewajiban menghormati leluhur yang telah menurunkanmu, menurunkan kita semua di sini. Kau tak boleh kawin dengan dia, betapapun kau menghendakinya. Aku telah menyediakan orang yang patut untukmu. Jangan membuatku malu. Ibu telah menjodohkan kau sejak kecil dengan Sagung Rai.
NGURAH
Sagung Rai? Tidak ibu.
GUSTI BIANG
Apa kurangnya Sagung Rai, dibanding dengan perempuan desa itu.
NGURAH
Tidak, tiyang tidak mau kawin dengan dia.
GUSTI BIANG
Kenapa tidak? Ibu dan keluarganya telah selesai merundingkan semua. Dia sudah tamat SMP. Kelakuannya halus dan rajin.
NGURAH
Ibu, soalnya bukan itu, ibu harus mengerti, sekarang orang ingin memilih sendiri teman hidup.
GUSTI BIANG
Kalau ingin kau pelihara perempuan sudra itu karena nafsumu, terserahlah. Boleh kau pelihara sebagai selir. Kau boleh berbuat sesukamu, sebab aku telah memeliharanya sejak kecil. Tetapi untuk mengawininya dengan upacara itu tidak bisa.
NGURAH
Tidak?
GUSTI BIANG
Tidak! Aku menentangnya.
NGURAH
Kenapa tidak?
GUSTI BIANG
Dia tidak pantas menjadi istrimu! Dia tidak pantas menjadi menantuku!
NGURAH
Kenapa tidak ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas dari Nyoman untuk menjadi istri? Karena derajatnya? Tiyang tidak pernah merasa derajat tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan tiyang harus berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa jadi teladan orang, yang
lain omong kosong semua!
(Gusti Biang Terbelalak Dan Mendekat)
Tiyang sebenarnya pulang meminta restu dari ibu. Tapi karena ibu menolaknya karena sola kasta, alasan yang tidak sesuai lagi. Tiyang akan menerima akibatnya
(Gusti Biang Menangis, Ngurah Bergulat Dengan Batinnya)
Tiyang akan kawin dengan Nyoman. Sekarang ini soal kebangsawanan jangan di besar-besarkan lagi. Ibu harus menyesuaikan diri, kalau tidak ibu akan ditertawakan orang. Ibu ...
GUSTI BIANG
Tinggalkan aku anak durhaka! Pergilah memeluk kaki perempuan itu! Kau bukan anakku lagi!
Leluhurmu akan mengutukmu,kau akan ketulahan.
NGURAH (Memegang kepala)
Ini tidak bisa diselesaikan begini saja. Panggillah Nyoman dan Bape Wayan,
kita bicarakan tenang-tenang.
GUSTI BIANG
Tidak! Sudah kuusir leak-leak itu! Aku sudah dihina, diinjak-injak!
NGURAH
Diusir? Nyoman, ibu usir?
KELUAR
GUSTI BIANG
Ya! Leak itu tidak boleh masuk rumahku ini. Setan tua itu juga! Biar mati dua-duanya sekarang! Kalau kau mau ikut pergi terserah. Aku akan mempertahankan kehormatanku. Kehormatan suamiku, kehormatan Sagung Rai, kehormatan leluhur-leluhur di puri ini.
BABAK IV
DEPAN RUMAH MALAM
Adegan I
WAYAN MUNCUL MEMBAWA KOPOR SENG DAN SENJATA. LALU MELIHAT KE DALAM RUMAH NGURAH MUNCUL DARI SAMPING WAYAN
WAYAN
Tu Ngurah ..
NGURAH
Bape Wayan!
WAYAN
Tepat sekali ratu Ngurah datang.
NGURAH
Apa kabar Bape?
WAYAN
Buruk tu Ngurah, buruk sekali.
NGURAH
Bape sehat-sehat saja?
WAYAN
Marahlah, umpatlah si tua yang pikun ini.
NGURAH
Kenapa?
WAYAN
Nyoman telah pergi.
NGURAH
Ke mana?
WAYAN
Baru saja tiyang hendak menyusulnya sekarang.
NGURAH
Baru saja?
WAYAN
Ya, baru saja, pasti belum jauh.
NGURAH
Kenapa dia pergi Bape?
WAYAN
Tu Ngurah tahu sendiri, sudah lama Gusti Biang tidak cocok dengan Nyoman. Titiyang tidak bisa mendamaikannya. Nyoman sudah sering ingin minggat, tapi tadi, tiba-tiba saja dia pergi. Salah titiyang juga tu Ngurah.
NGURAH
Sudahlah biar dulu begitu. Semuanya akan selesai nanti. Saya juga telah bertengkar dengan ibu. Duduklah Bape, bape jangan ikut pergi. Duduklah bape. Pasti ibu yang salah. Bape sudah bertahun-tahun di sini, tak baik kalau tiba-tiba pergi, duduklah bape ...
Adegan II
GUSTI BIANG MUNCUL
GUSTI BIANG
Tinggalkan rumahku sekarang ini juga.
WAYAN
Tiyang sudah berusaha baik-baik tapi tidak berhasil. Bape pergi sekarang
KEPADA NGURAH
GUSTI BIANG
Pergi Leak, jangan mengotori rumah suamiku.
WAYAN HENDAK PERGI, NGURAH MENAHANNYA
NGURAH
Bape! Jangan pergi! Ingat saya Bape. Jadi Bape akan tinggalkan?
GUSTI BIANG
Dia hantu! Tinggalkan rumah ini cepat!
WAYAN
Ya, tiyang hantu, seperempat abad tiyang mengabdi di rumah ini karena cinta. Sekarang keadaan tambah buruk. Bape pergi tu Ngurah
MENGANGKAT KOPER HENDAK PERGI
GUSTI BIANG
Tunggu dulu! Apa yang kau bawa itu? Kau mencuri barang-barangku. Bedil? Bedil siapa itu?
WAYAN
Pak Rajawali punya bedil waktu revolusi. Bedil ini sudah banyak membunuh pengkhianat.
GUSTI BIANG
Bedil itu kepunyaanku!
WAYAN
Kepunyaan Gusti Biang?
(Kepada Ngurah)
Ini bedil Bape ...
GUSTI BIANG
Ngurah! Ambil bedil itu! Ia mencuri bedil yang kusimpan di kamar ayahmu.
WAYAN
Ini bedil pak Rajawali.
GUSTI BIANG
Setan, anakku kamu hasut. Bedil peninggalan suamiku kau curi! Ambil bedil itu Ngurah! Bedil itu wasiat ayahmu.
NGURAH (Tertarik kepada bentuk bedil itu)
Coba lihat, aneh sekali bentuknya.
WAYAN
Bedil ini kepunyaan tiyang.
NGURAH
Benar? Coba saya ingin lihat.
GUSTI BIANG
Rebut saja! Jangan percaya dia lagi!
NGURAH
Ibu, di mana peluru yang menewaskan ayah?
MENGAMBIL BEDIL DARI TANGAN WAYAN
GUSTI BIANG
Tentu aku selalu membawanya sebagai jimat.
NGURAH
Coba lihat
(Menerima peluru)
Peluru ini yang telah membunuh ayah. Dokter Belanda itu membedah mayat ayah dan menyerahkan peluru ini kepada ibu. Ibu menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Kemudian atas permintaan ibu, dokter itu juga memberikan senjata yang dipergunakan untuk menembakkan peluru ini.
GUSTI BIANG
Benar. Senjata laknat ini yang telah membunuh suamiku. Nica jahanam.
WAYAN
Nica tidak mempunyai bedil macam ini.
GUSTI BIANG
Tidak! Usir dia Ngurah! Usir cepat!
.
WAYAN
Bedil macam ini hanya dipunyai gerilya.
GUSTI BIANG
Bedebah! Tidak! Jangan biarkan dia bicara, usir!
WAYAN (Tertawa)
Semua pahlawan mati tertembak Nica, tetapi dia tidak. I Gusti Ngurah Ketut Mantri bukan
seorang pahlawan, dia ditembak mati gerilya sebagai penghianat.
GUSTI BIANG
Dengar, dia menghina ayahmu! Usir dia! Tembak dia sampai mati!
NGURAH (Memegang ibunya yang hendak memukul)
Tenang ibu!
GUSTI BIANG Coba katakan lagi suamiku penghianat! Coba!
Kupukul kau bedebah.
WAYAN
Dia memang penghianat.
GUSTI BIANG
Leak! Terkutuk kau!
NGURAH
Sabar ibu!
MENDUDUKKAN IBUNYA
GUSTI BIANG
Kenapa kau diam saja anak durhaka! Tembak jahanam itu! Dia menghina suamiku.
NGURAH
Baik ibu, tapi tenang, nanti tetangga-tetangga bangun.
GUSTI BIANG
Biar, biar. Usir dia sekarang
BATUK KERAS
NGURAH
Bape bilang ayah saya penghianat? Kenapa Bape
WAYAN membeo kata orang yang iri hati? Bape sudah bertahun-tahun di sini mengapa mau merusak nama baik keluarga kami?
SALING BERPANDANG-PANDANGAN
WAYAN (Dengan tegas)
Tiyang tahu semuanya, tu Ngurah. Sebab tiyang yang telah mendampinginya setiap
saat dulu. Sejak kecil tiyang sepermainan dengan dia, seperti tu Ngurah dengan Nyoman. Tiyang tidak buta huruf seperti disangkanya. Tiyang bisa membaca dokumen-dokumen dan surat-surat rahasia yang ada di meja kerjanya. Siapa yang membocorkan gerakan Ciung Wanara di Marga dulu? Nica-nica itu mengepung Ciung Wanara yang dipimpin oleh pak Rai, menghujani dengan peluru dari berbagai penjuru, bahkan dibom dari udara sehingga kawan-kawan semua gugur. Siapa yang bertanggung jawab atas kematian sembilan puluh
enam kawan-kawan yang berjuang habis-habisan itu? Dalam perang puputan itu kita kehilangan Kapten Sugianyar, kawan-kawan tiyang yang paling baik, bahkan kehilangan pak Rai sendiri. Dialah yang telah berkhianat, dialah yang telah melaporkan gerakan itu semua kepada Nica.
GUSTI BIANG
Tidak! Itu tidak benar! Suamiku seorang pahlawan Ngurah usir dia.
NGURAH (Menghampiri Wayan)
Saya tidak percaya!
GUSTI BIANG
Jangan percaya! Leak!
NGURAH
Bape menghina keluarga saya.
WAYAN
Bukan menghina tu Ngurah. Begitulah keadaannya. Desa Marga menjadi saksi semua itu, hanya beliau dilahirkan sebagai putra Bangsawan yang berpengaruh serta dihormati karena jasa-jasa leluhur, dosa beliau kepada pak Rai terhadap semua korban puputan itu seperti dilupakan. Tetapi tiyang sendiri tidak pernah melupakannya. Bukan hanya seorang, banyak penghianat-penghianat di bumi ini dianggap orang sebagai pahlawan sedangkan yang benar-benar berjasa dilupakan orang.
NGURAH
Saya tak senang dengan cara-cara bape ini, diam-diam menjadi musuh dalam selimut. Susah payah saya memperbaiki nama baik keluarga. Sekarang bape hendak menodainya. Mencari-cari kesalahan memang gampang bape. Bape lupa, besar jasa ayah saya kepada perjuangan. Sayang beliau sudah meninggal. Kalau tidak, Ia akan menjelaskannya. Tarik kata-kata bape.
WAYAN HANYA TERSENYUM SINIS
NGURAH
Pergi!
WAYAN (Memalingkan muka hendak pergi tapi tiba-tiba tertegun dan berbalik)
Berikan bedil itu Tu Ngurah.
GUSTI BIANG
Tidak, itu bedilku, kau telah mencurinya.
NGURAH
Coba buktikan, buktikan kalau ayah saya seorang penghianat. Berikan bukti yang nyata, jangan hanya prasangka!
WAYAN (Menggeleng)
Berikan bedil itu Tu Ngurah!
GUSTI BIANG
Ayahmu ditembak Nica!
NGURAH (Membentak)
Buktikan!
WAYAN
Buat apa?
NGURAH
Buktikan!
WAYAN
Tiyang selalu mendampinginya. Tiyanglah yang selalu dekat dengan dia, dan tiyang seorang gerilya.
NGURAH
Lalu?
MEREKA SALING BERPANDANG-PANDANGAN. WAYAN MENGAMBIL BEDIL ITU DARI TANGAN NGURAH DAN NGURAH SEPERTI TAK BERTENAGA MEMBERIKAN BEDIL ITU
WAYAN (Pelan)
Aku telah sengaja melupakannya. Belanda itu memungutnya, tetapi tak tahu siapa yang
menembaknya.
(Membelai bedil)
Tiyanglah yang menembaknya.
NGURAH
Bape?
GUSTI BIANG
Tidak! Tidak! Tidak!
BERDIRI HENDAK MELEMPAR DENGAN TONGKAT. WAYAN SEGERA MERAMPAS DAN MENDUDUKKANNYA KEMBALI. SEMENTARA NGURAH HANYA TERCENGANG
WAYAN
Diam! Diam! Sudah waktunya menerangkan semua ini sekarang. Dia sudah cukup tua untuk tahu.
(Kepada Ngurah)
Ngurah, Ngurah mungkin mengira ayah Ngurah yang sejati, sebab dia suami sah ibu Ngurah. Tapi dia bukanlah seorang pejuang. Dia seorang penjilat, musuh gerilya. Dia bukan lelaki jantan, dia seorang wandu. Dia memiliki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk menutupi kewanduannya. Kalau dia harus melakukan tugas sebagai seorang suami, tiyanglah yang sebagian besar melakukannya. Tapi semua itu menjadi rahasia ... sampai ... Kau lahir, Ngurah, dan menganggap dia sebagai ayahmu yang sebenarnya. Coba tanyakan kepada ibu Ngurah, siapa sebenarnya ayah Ngurah yang sejati.
NGURAH TAK PERCAYA DAN MENGHAMPIRI IBUNYA YANG MULAI MENANGIS
WAYAN
Dia pura-pura saja tidak tahu siapa laki-laki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling mencintai sejak kecil, sampai tua bangka ini. Hanya kesombongannya terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolakku,
lalu dia kawin dengan bangsawan, penghianat itu, semata-mata hanya soal kasta. Meninggalkan tiyang yang tetap mengharapkannya. Tiyang bisa ditinggalkannya, sedangkan cinta itu semakin mendalam.
NGURAH (Berdiri dan bertanya dengan tolol)
Betulkah itu?
WAYAN
Tanyakan sendiri kepada dia.
NGURAH
Betulkah semua itu Ibu?
GUSTI BIANG TERUS MENANGIS SEMENTARA NGURAH TERUS BERTANYA SAMBIL BERTERIAK
WAYAN
Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya. Seperti cinta Ngurah kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu menganggap tiyang gila, pikun, tuli, hidup. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa muda yang tak bisa dibeli lagi.
(Memandang Ngurah dengan lembut. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu dan kemudian
berkata)
Tidak. Ngurah tidak boleh kehilangan masa muda seperti bape hanya karena perbedaan
kasta. Kejarlah perempuan itu, jangan-jangan dia mendapatkan halangan di jalan. Dia pasti tidak akan berani pulang malam-malam begini. Mungkin dia bermalam di dauh pala di rumah temannya. Bape akan mengurus ibumu. Pergilah cepat, kejar dia sebelum terlambat.
KEDUA LAKI-LAKI ITU SALING MEMANDANG, GUSTI BIANG TERPAKU DAN MERASA MALU SEKALI. WAYAN KASIHAN DAN MENDEKATI GUSTI BIANG. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN WAYAN MEMANDANG NGURAH LAGI
WAYAN
Ngurah, sudah tahu semuanya. Ngurah sudah pantas mendengar itu. Tapi Jangan terlalu memikirkannya. Lupakan saja itu semua. Itu memang sudah terjadi tetapi sekarang setelah Ngurah tahu, hati kami merasa lega. Sekarang lupakan semua itu. Lupakan, jangan bersakit-sakit memikirkannya.
NGURAH MEMALINGKAN MUKA KETIKA WAYAN MENATAPNYA
WAYAN
Semua itu bohong, Titiyang bukan ayah Ngurah. Tiyang adalah Wayan yang pikun dan akan segera mati, dan beliau itu (Menunjuk potret) bukan penghianat. Dia seorang pahlawan dan pantas Ngurah sebut ayah. Ya ... banyak terdapat keburukan di atas dunia ini. Tapi tidak semua keburukan yang kita ketahui itu perlu diketahui orang lain, kalau bisa membuat keadaan lebih buruk lagi. Pergilah Tu Ngurah dan tiyang yang akan meladeni Gusti Biang.
TANPA MENOLEH NGURAH MENINGGALKAN TEMPAT
Adegan III
GUSTI BIANG
sudah berhenti menangis, Ia malu menatap Wayan, tapi laki-laki itu mendekatinya.
WAYAN
Bagaimana Gusti Biang?
GUSTI BIANG (Kemalu-maluan)
Kenapa kau ceritakan semua itu padanya.
WAYAN
Waktu telah tiba, dia sudah cukup dewasa untuk mengetahuinya.
GUSTI BIANG
Kau menyebabkan aku sangat malu.
(Gusti Biang Tertunduk Dan Wayan Menghapus Air Matanya)
Wayan Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi, bagaimana Gusti Biang?
GUSTI BIANG (Sambil menghapus air matanya)
Aku tidak akan mencegahnya lagi. Kita akan mengawinkannya,
(Dengan manja)
Tapi jangan ceritakan lagi tentang yang dulu-dulu. Aku sangat malu.
WAYAN (Tersenyum)
Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu Sagung Mirah, sampai kita
berdua sama-sama mati dan di atas kuburan kita, anak-anak itu berumah tangga dengan baik. Sagung Mirah ..
GUSTI BIANG
Apa Wayan?
WAYAN
Kau tetap cantik seperti Dewi Sri ...
GUSTI BIANG
Huuuuuuuuuussssssss!
WAYAN TERTAWA LALU BERJALAN KE GUDANG. GUSTI BIANG MENGANGKAT LAMPU TEPLOK UNTUK WAYAN.
TAMAT
LAKON
BELUM TENGAH MALAM
Karya Syaiful Affair
BAGIAN PERTAMA
BAHKAN KETIKA SANDIWARA INI BARU DI MULAI, PENERANGAN DI ATAS PANGGUNG SEBAIKNYA DI ATUR SEDEMIKIAN RUPA SEHINGGA CAHAYA YANG DI DAPAT NANTINYA BISA MENGESANKAN HANYA AKIBAT DARI NYALA LAMPU MINYAK SAJA.
PANGGUNG MENGGAMBARKAN SEBUAH RUANGAN DALAM DARI SEBUAH RUMAH YANG SANGAT SEDERHANA. SEBUAH TEMPAT TIDUR, SEBUAH MEJA DAN BEBERAPA BUAH KURSI YANG KELIHATAN SUDAH TUA. BEBERAPA PERALATAN RUMAH LAINNYA YANG SAMA TUANYA JUGA TAMPAK DI SANA. JUSTERU DI SAAT LAMPU PANGGUNG BELUM LAGI MENYALA SEMPURNA, DUA ORANG SUDAH KELIHATAN DI SANA. HANYA BUNYI DETAK JARUM JAM SEBAGAI LATAR BELAKANG SUARA YANG ADA, SEBELUM AKHIRNYA DI PECAHKAN OLEH BUNYI KETUKAN PINTU YANG TERDENGAR SESEKALI. SEBUAH JAM DINDING TUA TAMPAK BURAM KARENA SEDIKIT KEBAGIAN CAHAYA.
SUASANA MALAM TAPI BELUM TERLALU TENGGELAM.
HANUM (Cemas)
Mungkin sekarang kita?
TAJI
Ya.
HANUM
Yakin?
TAJI
Fikiranku ke sana.
HANUM
Barangkali saja....
TAJI
Apa?
HANUM
Barangkali saja ada menurut mereka?
TAJI
Mereka?
(HERAN)
kamu bilang mereka?!
HANUM
Kenapa?
TAJI
Kok tahu kalau yang di luar itu mereka?
HANUM
Mereka atau pun cuma sendirian kan sama saja?
TAJI
Kalau cuma sendirian mungkin aku masih bisa mengatasi. Tapi kalau yang di luar itu mereka, aku tidak yakin. Beda kan?
HANUM
Aku juga tidak yakin yang di luar itu mereka atau cuma sendirian? Aku tadi cuma menduga-duga saja. Soalnya berani benar dalam suasana seperti sekarang ini mau masuk ke rumah orang kalau cuma sendirian?
TAJI
Mungkin saja sudah punya persiapan, Atau barangkali saja sambil menunggu teman-temannya yang belum datang, sementara dia sendirian menteror lebih dulu dengan mengetuk-ngetuk pintu rumah kita seperti ini. Bisa saja kan?
HANUM
Kenapa kita?
TAJI
Sekarang orang sudah tidak bisa lagi membedakan mana orang kaya atau bukan, iya kan? Sekarang bahkan banyak orang-orang kaya yang berpura-pura miskin. Dan juga sebaliknya. Maka sekarang giliran kita yang di kira berpura-pura. Mungkin saja kan?
SEMENTARA MEREKA MASIH BERDIALOG, SUARA KETUKAN PINTU RUMAH MEREKA KEMBALI TERDENGAR. HANUM KELIHATAN MAKIN GELISAH. SEMENTARA TAJI BINGUNG TIDAK TAHU APA YANG HARUS DI LAKUKAN.
HANUM
Tapi tidak dengan kita. Mereka seharusnya tahu itu. Tidak mungkin orang tidak tahu kalau kita ini miskin? Tanpa kita harus umumkan ke semua orang, seharusnya semua orang tahu! Cuma orang tolol saja yang tidak tahu!
(AGAK KESAL TAPI MASIH KELIHATAN GELISAH)
TAJI
Sudah, biar aku bukakan saja pintunya!
HANUM (Cepat)
Jangan, Pak! Bagaimana kalau memang sekarang ini giliran kita?
TAJI
Loh?! Tadi kan kamu bilang semua orang sudah tahu kalau kita ini bukan orang kaya?
HANUM
Tadi itu aku hanya menduga-duga saja kalau semua orang sudah tahu.
TAJI
Loh?!
HANUM
Bapak sendiri juga tadi ikut menduga-duga, kan?
TAJI
Sudah aku bukakan saja...
(HENDAK MENERUSKAN NIATNYA)
HANUM (Cepat)
Kalau benar mereka mau merampok kita, bagaimana?
TAJI (Ragu)
Mungkin cuma mau bertamu saja, ini?
HANUM
Kok tengah malam begini?
TAJI
Belum.
HANUM
Tapi jangan. Tidak usah saja.
TAJI
Jadi diam saja begini? Tidak melakukan apa-apa? (Kesal)
HANUM
Dari tadi kita belum tanyakan apa maunya?
TAJI (Sadar)
Biar aku tanyakan.
(Kepada Yang Mengetuk Pintu)
Ya...? Siapa?? Mau apa? Ada perlu apa?
TIDAK ADA JAWABAN APA PUN. JUSTERU YANG MAKIN JELAS TERDENGAR ADALAH BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM.
HANUM (Tetap Dengan Gelisah)
Pasti sudah. Tidak bermaksud baik ini!
TAJI (Mulai Kesal Lalu Kembali Bicara Dengan Yang Mengetuk Pintu)
Hooyy..! Yang diluar! Jangan cuma mengetuk pintu saja! Jawab dulu, apa maunya? Ada perlu apa? Mencari siapa? Kalau tidak ada yang penting, pergi sana! Jangan mengganggu orang malam-malam begini! Apa tidak bisa besok saja mengetuk pintunya? Ketuk saja lagi besok, kami tidak keberatan! Asal jangan malam-malam seperti ini! Tidak sopan mengetuk pintu rumah orang malam-malam begini! Sudah, kembali saja besok pagi!
KEMBALI TIDAK ADA JAWABAN DARI YANG DI AJAK BICARA TADI. JUSTERU BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM YANG KEMBALI MAKIN JELAS TERDENGAR.
HANUM
Bagaimana ini, Pak? Aku mulai takut sekarang....
TAJI
Jangan bikin aku panik, Bu.
HANUM
Kok aku yang di salahkan Bapak sekarang?
TAJI
Siapa yang menyalahkan?
HANUM
Siapa?
TAJI
Tidak.
HANUM
Tadi?
TAJI
Aku cuma panik tadi.
HANUM
Kok Bapak yang panik? Aku...!
TAJI
Sejak tadi aku sudah lebih dulu, cuma aku tidak mau bilang sama kamu.
HANUM
Salah Bapak sendiri.
TAJI
Loh, kok kamu menyalahkan aku, sekarang?
HANUM
Siapa yang menyalahkan?
TAJI
Siapa?
HANUM
Tidak.
TAJI
Tadi?
HANUM
Aku cuma....
(TERTAHAN KARENA KEMBALI TERDENGAR SUARA PINTU DI KETUK ORANG. KALI INI LEBIH LAMA TEMPO KETUKANNYA)
TAJI (Diam. Hanya Matanya Saja Yang Bicara)
HANUM (Diam. Menutup Kedua Telinganya)
TAJI (Kepada Hanum, Tapi Masih Kelihatan Ragu-Ragu)
Ambilkan senjata, sana!
HANUM (Tidak Yakin)
Pak?!
TAJI
Sudah, cepat!
HANUM (Takut)
Apa?
TAJI
Yang bisa buat melindungi diri.
HANUM (Bingung, Bicara Sambil Beranjak)
Pisau?
TAJI
Kok pisau? Golok!
HANUM
Tidak punya.
TAJI (Heran)
Golok?
HANUM (Mengulangi)
Ya, tidak punya...
TAJI
Kapak kalau begitu!
HANUM
Pisau.
TAJI
Kok pisau? Kapak!
HANUM
Tidak punya.
TAJI (Heran)
Kapak?
HANUM (Mengulangi)
Ya, tidak punya...
TAJI
Kalau begitu, linggis!
HANUM
Pisau.
TAJI
Kok pisau? Linggis!
HANUM
Tidak punya.
TAJI (Heran)
Linggis?
HANUM (Mengulangi)
Ya, tidak punya...
TAJI
Jadi?
HANUM
Pisau.
TAJI (Heran)
Cuma pisau?
HANUM
Itu pun aku tidak yakin sudah tumpul apa tidak? Bapak sendiri kan sudah lama tidak lagi suka mengasah pisau? Ya, kan?
TAJI (Mengingat)
Seingatku waktu mau memotong dua ekor ayam milik kita yang kurus-kurus itu...
HANUM
Itu tiga puluh dua tahun yang lalu. Seingatku justeru waktu kita masih mampu membeli dua ikat kangkung. Dan Bapak menangis waktu itu, melihat aku hanya memotong kangkung, karena tidak punya lagi bahan makanan yang bisa aku potong-potong dengan pisau itu.Ya, tinggal pisau itu saja yang masih bisa kita miliki, karena waktu Bapak mau menjualnya dulu tidak ada orang yang mau membeli? Siapa yang mau membeli pisau dapur tua yang sudah tipis? Tidak ada.
Dan pisau itu juga yang hampir saja membunuh kita? Bapak ingat waktu kita putus asa dulu karena tidak lagi punya apa-apa dan tidak bisa lagi membeli apa-apa, bahkan hanya untuk seikat kangkung? Pisau itu juga yang hampir kita gunakan untuk bunuh diri? Untung waktu itu kita bingung siapa yang akan menggunakannya lebih dulu? Karena tidak kita temukan kata sepakat maka sampai hari ini niat bunuh diri itu masih kita tunda.
TAJI
Tapi seingatku waktu dua ekor ayam kurus itu ....
HANUM (Cepat-Memotong)
Itu tiga puluh dua tahun yang lalu.... Bahkan waktu itu pun ayamnya tidak jadi kita potong tapi kita jual, dan uangnya kita gunakan untuk membayar hutang-hutang kita. Sedangkan kita sendiri kembali hanya makan kangkung dari sisa uang menjual dua ekor ayam dan membayar hutang-hutang kita itu.
TAJI
Kalau begitu belum tiga puluh dua tahun yang lalu?
HANUM
Sudah. Yang tadi aku ceritakan itu bukan tentang kangkung hasil menjual ayam-ayam itu, tapi cerita kangkung yang lain?
TAJI
Cerita kita yang lain.
HANUM
Cerita kangkung kita yang lain.
SUASANA DIAM, HANYA BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM YANG MAKIN JELAS TERDENGAR, UNTUK KEMUDIAN KEMBALI DI PECAHKAN OLEH SUARA KETUKAN PINTU OLEH ORANG YANG DI LUAR.
KALI INI KETUKANNYA SUDAH BISA DI BILANG BUKAN LAGI KETUKAN TAPI SUDAH MENJADI GEDORAN!
TAJI (Kepada Hanum)
Cepat goloknya!
HANUM (Cepat)
Pisau.
TAJI
Kapak!
HANUM
Pisau.
TAJI
Linggis!
HANUM
Pisau.
TAJI
Pisau!
HANUM CEPAT BERGERAK. KELIHATAN IA LALU MENCARI-CARI DI BALIK TUMPUKKAN BARANG-BARANG YANG ADA DI SITU, MAKIN LAMA MAKIN TIDAK LAGI SEPERTI MENCARI TAPI SUDAH TAMPAK SEPERTI MEMBONGKAR-BONGKAR/MENGACAK-ACAK.
GERAKANNYA MAKIN LAMA MAKIN CEPAT. DAN BERTAMBAH CEPAT LAGI DENGAN TIBA-TIBA SETIAP KALI GEDORAN PINTU TERDENGAR DARI LUAR.
TAJI (Kepada Hanum)
Jangan hiraukan!
(Panik Tapi Tidak Mau Memperlihatkannya Kepada Hanum)
Jangan panik! Terus cari!
(Terganggu Dengan Suara Gedoran Pintu Tapi Tidak Mau Memperlihatkannya Kepada Hanum)
Cuma suara gedoran pintu. Bukan apa-apa! Teruskan! Cari!
(Mengambil Kursi Lalu Di Halangkan Di Balik Pintu Bicara Sendiri)
Kalau cuma sendirian, cukup dengan ini!
(Kepada Hanum Yang Masih Sibuk Membongkar-Bongkar)
Sudah aku halangi. Tidak usah panik, teruskan saja cari.
BUNYI SUARA GEDORAN PINTU TERUS TERDENGAR. KALAU MUNGKIN KURSI YANG DI PAKAI UNTUK PENGHALANG PINTU DAPAT DI LIHAT PENONTON BERGERAK-GERAK SETIAP KALI GEDORAN PINTU TERJADI.
TAJI TAMPAK TERUS MEMBERI DORONGAN KEPADA HANUM UNTUK MENCARI, TAPI DIA SENDIRI KELIHATAN LEBIH PANIK DARI HANUM TAPI TIDAK BERUSAHA MEMBANTU UNTUK MENCARI. SUARA GEDORAN SEMAKIN SERING TERDENGAR. HINGGA AKHIRNYA HANUM MENEMUKAN PISAU YANG DI CARINYA. CEPAT HANUM MEMBERIKAN PISAU ITU KEPADA TAJI. LAMPU CEPAT BERUBAH WARNA BERSAMAAN DENGAN DI TERIMANYA PISAU OLEH TAJI. SUASANA PUN CEPAT BERUBAH LAIN. TIDAK ADA YANG BICARA. CUMA MATA MEREKA. SUASANA DIAM HANYA BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM YANG TERDENGAR JELAS.
PAUSE. SAMPAI AKHIRNYA SEMUA ITU DI PECAHKAN OLEH SUARA HANUM.
HANUM
Apa betul perlu, itu?
(MENUNJUK PISAU DI TANGAN TAJI)
TAJI (Matanya Menatap Pisau Di Tangan)
Aku tidak menyangka kalau sekarang jadi begini penting dan di butuhkan. Padahal sudah lama kita lupakan benda ini. Bagaimana bisa masih kau simpan pisau ini?
HANUM
Tidak laku di jual.
TAJI
Buang.
HANUM
Sudah dulu.
TAJI
Lalu?
HANUM
Aku ambil kembali.
TAJI
Kenapa?
HANUM
Karena aku tidak mau kita tidak punya pisau.
TAJI
Tapi kita sudah buktikan kita bisa tidak punya pisau?
HANUM
Tidak malam ini.
SUARA GEDORAN PINTU KEMBALI TERDENGAR. LAMPU BERUBAH CEPAT KEMBALI. MEREKA MAKIN TEGANG.
TAJI
Aku kira sekarang saatnya!
HANUM (Tampak Sekali Khawatir)
Tapi aku masih kurang yakin?
TAJI (Menguatkan Diri)
Aku tidak!
HANUM
Kejadian yang di alami Pak Arif dulu itu, apa masih ingat?
TAJI
Siapa?
HANUM
Tetangga empat rumah dari tempat kita ini. Yang di sebelah kiri.
TAJI
Dia tidak seperti kita.
HANUM
Memang dia tidak miskin seperti kita, tapi cerita orang-orang di luar sana tentang peristiwa Pak Arif itu sangat mirip dengan apa yang sedang kita alami malam ini. Pada malam kejadian itu, isterinya bilang Pak Arif juga memegang pisau di tangannya.
TAJI
Kalau begitu sekarang ini aku sedang melakukan tindakan yang tepat!
HANUM
Belum tahu.
TAJI (Memperlihatkan Kepada Hanum)
Tapi pisau ini?!
HANUM
Pagi hari setelah malam kejadian itu orang-orang menemukan Pak Arif juga dengan pisau. Tapi pisau miliknya itu sudah tertancap di dadanya sendiri.
TAJI
Pisau yang baik dan bagus tentunya?
(MENARIK NAFAS)
HANUM
Bukan soal lagi baginya pisau itu baik dan bagus atau tidak kalau sudah seperti itu.
TAJI
Tapi Pak Arif itu orang kaya. Tentunya ada alasan buat perampok itu membunuhnya? Begitu juga sebaliknya.
HANUM
Merampok, ya merampok.
TAJI
Selalu ada alasannya.
HANUM
Kita tidak kaya seperti Pak Arif.
TAJI
Itu! - itu bisa di jadikan alasan buat merampok kita!
HANUM (Tidak Mengerti)
Kita tidak kaya seperti Pak Arif?
TAJI
Karena kita miskin. Mungkin itu yang di jadikan alasan untuk merampok kita malam ini? Bisa saja kita sudah di anggap menghambat atau merusak nafsu dan kegemarannya merampok?
(Diam)
Tanpa kita sadari selama ini, ternyata kemiskinan kita sudah mengganggu mereka.
HANUM
Tapi selama ini tetangga-tetangga kita yang tidak miskin seperti kita mereka tidak pernah protes kepada kita?
TAJI
Tidak mau. Mereka tidak akan membuang-buang energi percuma. Karena mereka tahu kita tidak akan mampu pergi dari kemiskinan ini.
HANUM (Menduga)
Kalau begitu? Selama ini tetangga-tetangga kita itu....?
TAJI (Meneruskan Fikiran Hanum)
Sekarang saja, malam ini tidak satu pun dari mereka yang mau keluar rumah buat perduli sama kita. Mereka sebenarnya sudah lama terganggu dengan kemiskinan kita ini.
HANUM (Berfikir. Agak Berprasangka)
Mereka semua itu? Jadi....?
TAJI (Yakin)
Sekongkol sudah dengan perampok yang di luar itu. Mereka sengaja membiarkan bahkan mungkin membayar perampok itu buat melenyapkan kita!
HANUM
Tetapi tetangga kita yang di sebelah kanan depan sana, dia komandan polisi?
TAJI
Jarang ada di situ. Itu cuma rumah wanita simpanannya.
HANUM
Tapi dia pernah menolong kita.
TAJI
Waktu itu dia cuma menolong dirinya sendiri.
HANUM
Dia Polisi.
(TERDENGAR LEBIH DI TEKAN MENGUCAPKANNYA)
TAJI
Dia cuma maling berseragam Polisi.
HANUM
Lalu Pak Darmat? Bagaimana? Dia Kiai.
TAJI
Kalau pergi ke masjid tidak pernah mau lewat jalan di depan rumah kita.
HANUM
Tapi apa mungkin? Pak Darmat itu Kiai juga Haji.
TAJI
Kiai Haji itu manusia juga.
HANUM
W i r y o!
TAJI
Cuma jagoan kampung!
HANUM
Tapi apa salah kita?
TAJI
Miskin!
HANUM
Bukan salah kita kalau tidak kaya seperti mereka. Lagi pula apa salah kita kepada mereka kalau kita miskin?
Kenapa mereka harus merasa terganggu dengan kemiskinan kita? Lagi pula apa salahnya kalau kita miskin? Aku saja tidak pernah merasa terganggu dengan ketidak miskinan mereka? Memang aku pernah merasa iri kepada mereka, tapi itu dulu. Dan itu cuma sekedar iri? Setiap orang kan punya hak untuk merasa iri.
TAJI
Tidak dengan kita.
HANUM
Jadi orang miskin sekarang tidak punya hak lagi untuk merasa iri?
TAJI
Kita sudah terlalu miskin.
HANUM
Itu juga bukan hak kita?
TAJI (Lebih Kepada Dirinya Sendiri)
Sekarang ini jadi orang miskin sangat berbahaya!
HANUM
Aku takut, Pak.
TAJI
Kita sendirian sekarang.
UNTUK BEBERAPA SAAT MEREKA SIBUK DENGAN FIKIRANNYA MASING-MASING. HANUM TAMPAK MULAI MENANGIS. SEMENTARA TAJI KELIHATAN MAKIN BINGUNG. SAMPAI SUARA GEDORAN PINTU KEMBALI TERDENGAR. SUASANA JADI SEMAKIN TEGANG. LAMPU BERUBAH-UBAH WARNA KADANG MENGESANKAN TAJI YANG MARAH, KADANG MENGESANKAN TAJI YANG BINGUNG. GEDORAN PINTU SEMAKIN KERAS DAN SERING. HANUM TAMPAK TERSIKSA SETIAP KALI SUARA GEDORAN PINTU TERDENGAR.
HANUM (Menutup Telinganya)
Aku takut sendirian, Pak.
TAJI
Kita terlalu miskin sekarang.
HANUM (Menutup Telinganya)
Aku takut terlalu miskin, Pak.
TAJI (Mengarahkan Pisau Ke Arah Pintu)
Kita tidak punya hak sekarang.
HANUM (Menutup Telinganya)
Aku takut tidak punya hak. Pak.
TAJI (Mengarahkan Pisau Ke Arah Pintu)
Kita mau di lenyapkan sekarang.
HANUM (Menutup Telinganya)
Aku tidak mau di lenyapkan, Pak.
SUARA GEDORAN PINTU SEMAKIN KASAR. TAJI HENDAK BERGERAK MAJU DARI TEMPATNYA SEMULA.
TAJI
Kita harus lawan ini!
HANUM (Cepat- Mencegah)
Pak Arif juga melawan waktu itu.
TAJI (Tertahan)
Kata orang?
HANUM
Isterinya yang bilang.
TAJI (Lebih Kepada Dirinya Sendiri)
Tapi, Pak Arif lebih tua dari aku.
HANUM
Waktu kejadian malam itu, umur Pak Arif sama dengan umur Bapak sekarang.
TAJI MENGGESER MEJA YANG ADA DI RUANGAN ITU LALU DI HADANGKAN KE BALIK PINTU. SEKARANG SUDAH ADA KURSI DAN MEJA YANG DI JADIKAN PENGHALANG PINTU RUMAH. HANUM KELIHATAN SEMAKIN TERSIKSA. TANGANNYA SESEKALI DI LEPASKAN DARI TELINGANYA, TAPI KEMUDIAN DI TEMPELKAN KEMBALI MENUTUP TELINGANYA SETIAP KALI DIA SADAR AKAN ADA SUARA GEDORAN PINTU. TAJI TAMPAK SEMAKIN BINGUNG, UNTUK KEMUDIAN KELIHATAN DIA BERUSAHA MEMUNCULKAN KEBERANIAN DARI DALAM DIRINYA, TAPI APA YANG DI HARAPKANNYA ITU TETAP DIA RASAKAN TIDAK ADA. GEDORAN PINTU SEMAKIN KERAS. TAJI MEMAKSAKAN KAKINYA AGAR MELANGKAH MAJU SEDIKIT LEBIH DEKAT DENGAN PINTU. KELIHATAN DIA BERJUANG KERAS UNTUK MELAKUKANNYA. HANUM MEMPERHATIKAN PERJUANGAN TAJI, JUGA DENGAN TANGAN YANG MAKIN KERAS DAN RAPAT MENUTUP TELINGANYA.
TAJI (Dengan Nafas Tertahan)
Biar aku lihat lewat jendela.
HANUM (Naik Ke Atas Tempat Tidur)
Jangan terlalu dekat!
TAJI (Setelah Beberapa Saat)
Aneh? Tiba-tiba pemandangan di luar sana jadi asing buatku?
HANUM
Bagaimana?
TAJI
Kau lupa memasang lampu?
HANUM
Tidak pernah.
TAJI
Gelap diluar.
HANUM
Sudah lama sekali aku tidak pernah lagi memasang lampu di situ.
TAJI
Seharusnya kau pasang lampu sebelum gelap tadi.
HANUM
Tidak ada lagi lampu untuk di pasang di situ.
TAJI
Aku tidak bisa melihat apa-apa yang ada di luar sana.
HANUM
Perampok itu?
TAJI
Tanah saja tidak bisa aku lihat.
HANUM
Bayangannya barangkali? Dapat?
TAJI
Cuma gelap.
HANUM
Biasanya bulan ada di sana kalau sudah malam begini?
TAJI
Tidak malam ini.
HANUM
Biasanya dia letakan sedikit cahayanya di situ. Seperti tahu kalau aku sudah tidak pernah lagi memasang lampu. Tapi malam ini kenapa dia? Apa bulan juga sekarang sudah merasa terganggu dengan kemiskinan kita? Ini tidak adil! Tidak benar! Tidak benar!
TAJI
Cuma itu hak kita sekarang.
HANUM
Ketidak adilan?
TAJI
Selama ini tidak kita sadari ternyata?
HANUM
Kita sudah terbiasa menerimanya, itu soalnya.
TAJI (Melihat Kepada Hanum Dengan Iba)
Kamu benar. Kita sudah terlalu lama menempati kemiskinan dan ketidak adilan.
HANUM (Menatap Taji Dengan Haru Lalu Menangis)
Sudah. Jangan di teruskan. Aku tetap mencintaimu, Pak....
TAJI
Aku bukan suami yang baik. Bukan pada tempat yang menyengsarakan seharusnya kamu berada selama ini.
HANUM (Masih Menangis)
Sudah, Pak.... Jangan di teruskan, sudah. Bapak sudah memberikan banyak buatku. Bahkan sekarang aku sudah tidak tahu lagi apa itu kesengsaraan.
TAJI
Kamu terlalu lama sudah, Bu.
HANUM (Makin Haru. Menangis)
Tidak, Pak. Tidak ada yang terlalu lama. Bukan kesalahan bapak...
TAJI (Sebelum Memalingkan Wajahnya)
Maafkan aku, Bu.
UNTUK BEBERAPA SAAT KEMBALI MEREKA TIDAK BERKATA-KATA. CUMA SUARA ISAK TANGIS HANUM DAN BUNYI DETAK JARUM JAM YANG TERDENGAR DI RUANGAN ITU. TANPA DI SADARI SUASANA INI MEMBAWA TAJI TERDUDUK DI KURSI DENGAN KEPALA TERTUNDUK KE LANTAI. HANUM BERGERAK PERLAHAN MENDEKATI TAJI LALU MEMELUKNYA DARI BELAKANG. TAJI HANYA MENATAP KOSONG KE ARAH PENONTON. AIR MATANYA MEMAKSA KELUAR.
HANUM (Tahu Ada Air Mata Yang Mau Keluar )
Biarkan, Pak.
TAJI (Matanya Kepada Penonton)
Aku tidak akan menangis.
HANUM (Menghibur)
Pak Arif juga menangis pada malam kejadian itu.
TAJI (Matanya Kepada PenonTON)
Lelaki tidak menangis.
HANUM (Menghibur)
Isterinya yang bilang.
TAJI (Matanya Kepada Penonton)
Tidak dengan aku. Tidak akan.
HANUM (Menghibur)
Aku tahu.
UNTUK BEBERAPA SAAT MEREKA DIAM, TAPI ADA AIR MATA PADA TAJI.
TAJI (Berbalik Menatap Hanum)
Sudah berapa lama kita menikah?
HANUM
Lama.
TAJI
Sudah selama itu? Jadi kalau benar sekarang? Segalanya selesai sudah malam ini. Itu artinya tidak ada yang akan mengingat kita.
HANUM (Menghibur Lagi)
Tidak, Pak. Orang-orang sampai tadi sore masih mengingat Pak Arif.
TAJI (Kembali Matanya Kepada Penonton)
Tidak dengan aku.
HANUM (Menghibur)
Mereka pasti akan ingat.
TAJI (Matanya Kepada Penonton)
Selamanya tidak akan ada. Tidak akan ada.
HANUM (Menghibur)
Isterinya Pak Arif bilang ....
TAJI (Cepat- Memotong)
Pak Arif dan Isterinya punya tiga anak. Ada nama Arif di belakang nama mereka.
HANUM (Tersentak. Diam. Sebelum Akhirnya Kembali Menangis Lalu Bergerak Menjauhi Taji Kembali Ke Tempatnya Semula)
Selamanya tidak akan ada. Tidak akan ada....
TAJI (Lebih Kepada Dirinya Sendiri)
Orang-orang itu? Orang-orang lain itu? Mereka tidak mungkin mau repot-repot mengingat kita. Orang seperti kita memang tidak pantas untuk di ingat. Apa lagi oleh orang-orang itu. Mereka sudah terbiasa untuk tidak melihat orang seperti kita. Buat mereka semua yang pantas untuk di lupakan ada pada orang seperti kita. Tidak ada sedikit pun tempat di kepala mereka untuk mengingat kita. Bahkan mungkin tadi pagi pun mereka sudah tidak ingat lagi siapa kita?
HANUM
Sudah lebih dari tiga puluh tahun ini memang, tidak ada lagi tetangga yang menegur kita. Kalau kita coba menegur mereka lebih dulu, mereka cepat-cepat mencari cara seolah-olah kita tidak sedang ada di dekat mereka. Padahal seharusnya mereka melihat kita. Paling tidak kepada Bapak?
TAJI (Jauh)
Mereka belum ada waktu itu.
HANUM
Orang-orang tua mereka? Ibu-ibu mereka? Ayah-ayah mereka? Nenek mereka? Kakek mereka? Negeri mereka?
TAJI
Negeri ini tidak berhutang apa pun kepadaku.
HANUM
Tapi Bapak di sana waktu Negeri ini ....
TAJI (Cepat- Memotong)
Aku ikhlas.
HANUM
Bahkan bintang jasa seperti mereka yang lain-lain terima itu pun Bapak tidak dapat. Padahal Bapak yang paling pantas di bandingkan mereka semua itu? Kenapa justeru Bapak yang di lupakan?
TAJI
Negeri ini sudah di lumpuhkan mereka.
HANUM
Negeri ini tidak. Tapi kita.
TAJI
Negeri ini di paksa untuk tidak menerima kita.
HANUM
Tapi di luar negeri ini kita masih di kenal.
TAJI
Karena sering di jual.
HANUM
Tapi kita masih hidup?
TAJI
Tidak bagi mereka.
HANUM
Kejam!
TAJI
Kita sudah lama mati buat mereka.
HANUM
Tidak punya hati!
TAJI
Sudah lama mati.
HANUM
Tidak punya perasaan!
TAJI
Sudah lama mati.
HANUM
Tidak punya moral!
TAJI
Sudah. Jangan memaki.
HANUM
Mereka bukan manusia!
TAJI
Kita yang bukan manusia.
HANUM
Apa susahnya untuk punya hati, punya perasaan, dan moral? Kita saja yang miskin bisa memiliki itu? Mereka kaya!
TAJI
Tidak bisa menjaganya.
HANUM
Aku tidak mau jadi mereka.
TAJI
Jangan.
HANUM
Tapi aku juga tidak mau di jual?
TAJI
Mereka bisa melakukan apa saja pada kita.
HANUM
Kenapa harus kita? Kenapa bukan yang lain?
TAJI
Kita inilah yang lain.
HANUM
Tidak. Masih banyak yang lain.
TAJI
Kita ini yang masih banyak itu.
HANUM
Ternyata mereka yang miskin selama ini? Itu sebabnya mereka tidak mampu memilikinya.
TAJI
Kasihan mereka.
HANUM (Setelah Diam Sesaat. Ikhlas)
Aku maafkan mereka.
TAJI
Kasihan mereka. Tidak tahu bagaimana seharusnya berperasaan.
HANUM (Ikhlas)
Aku maafkan mereka.
TAJI
Kasihan mereka. Tidak tahu bagaimana seharusnya berhati.
HANUM (Ikhlas)
Aku maafkan mereka.
TAJI
Kasihan mereka. Tidak tahu bagaimana seharusnya bermoral.
HANUM (Ikhlas)
Aku maafkan mereka.
TAJI
Kasihan mereka. Aku maafkan mereka.
SUASANA DIAM SESAAT. TIDAK ADA SUARA LAIN KECUALI BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM. TAJI MEMANDANGI PISAU YANG ADA DI TANGANNYA. LAMPU BERUBAH WARNA KEMBALI, CAHAYA MENGESANKAN HANYA AKIBAT DARI NYALA LAMPU MINYAK SAJA.
HANUM (Meminta Pisau Yang Di Pegang Taji)
Biar aku simpankan kembali.
TAJI (Setelah Memberikan Pisau Kepada Hanum)
Kalau terjadi sesuatu padaku....
HANUM (Cepat. Memotong)
Tidak akan terjadi sesuatu apa padamu.
TAJI (Memberi Pengertian)
Demi keselamatanmu, sebaiknya....
HANUM (Cepat- Memotong)
Tidak. Aku tetap di sini bersamamu, Pak.
TAJI (Memohon Pengertian)
Bu?
HANUM
Aku membantahmu, Pak.
TAJI (Menatap Dalam. Dengan Sabar)
Aku suami mu.
HANUM (Dengan Hati)
Kau suami ku.
TAJI (Tersenyum)
HANUM (Tersenyum)
HANUM MELETAKKAN PISAU. UNTUK SEMENTARA MEREKA BERDUA SEPERTI MENEMUKAN KEMBALI SESUATU MILIK MEREKA YANG LAMA HILANG. TAJI MENGHAMPIRI HANUM LEBIH DEKAT. SENYUM MEREKA KELIHATAN MAKIN IKHLAS. MEREKA MASING-MASING SEPERTI TERSADAR KALAU DULU MEREKA MEMANG TELAH MENGAMBIL KEPUTUSAN YANG TEPAT. KEMBALI TIDAK ADA SUARA, CUMA HATI MEREKA. BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM SEPERTI MEMBAWA MEREKA MUNDUR KE MASA YANG LAIN.
HANUM (Tersipu)
Aku malu....
TAJI (Menempelkan Tangan Hanum Di Dadanya)
Masih aku simpan sampai sekarang.
HANUM (Malu)
Kau nakal.
TAJI (Menggoda)
Kau masih belum tahu apa-apa waktu itu.
HANUM (Malu- Mencubit Pinggang Taji)
Dasar lelaki brengsek
TAJI (Menggoda)
Aku tahu kau berusaha menutupi perasaanmu malam itu.
HANUM (Malu-Manja)
Kau permainkan aku! Mestinya aku tolak malam itu.
TAJI (Senyum)
Setelah malam itu, aku tahu kau tidak bisa lagi jauh dari aku.
HANUM (Tersenyum. Semakin Malu)
Jangan sombong. Tidak ada yang bilang begitu.
TAJI (Menggoda)
Kalau tidak karena sinar matahari yang mengganggu kita lewat jendela kamarmu waktu itu, belum tentu kau minta aku pergi waktu itu.
HANUM (Malu)
Lelaki memang tidak bisa menyimpan rahasia.
TAJI
Kenapa kau biarkan aku malam itu?
HANUM (Cemberut- Manja)
Kau lupa sudah merayu aku?
TAJI (Menggoda)
Bukan.
HANUM
Kau pandai membujuk aku.
TAJI (Menggoda)
Bukan.
HANUM
Aku masih belum tahu apa-apa waktu itu. Tadi kau yang bilang?
TAJI (Menggoda)
Bukan.
HANUM (Menyerah)
Sudah, sudah. Jangan menggoda aku terus. Kau sendiri tahu kenapa.
TAJI TAMPAK TERSENYUM. HANUM MAKIN MALU DI BUATNYA. PADA MATA MEREKA NAMPAK ADA PERISTIWA. LAMPU PENTAS KEMBALI BERUBAH WARNA. MEREKA MENIKMATI BULAN MADU YANG TIBA-TIBA LEWAT TIDAK TERDUGA MALAM INI.
BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM JELAS MAKIN TERDENGAR. SAMPAI TAJI MENANYAKAN PADA HANUM HAL YANG LAIN.
TAJI
Kenapa kau teruskan? Orang tua mu menolak aku.
HANUM
Aku tidak menolak mu.
TAJI
Tapi mereka membuang mu akhirnya.
HANUM
Tidak. Aku yang pergi.
TAJI
Mereka tidak mau lagi kau ada di sana.
HANUM (Menekan Tangannya Ke Dada Taji)
Tempat ku disini.
TAJI (Tersenyum)
Kau tahu aku mencintai mu.
HANUM (Menyandarkan Kepalanya Ke Dada Taji Lalu Bicara Perlahan Memberi Tahu)
Aku tahu kau takdir ku.
TAJI (Tersenyum Ikhlas)
Aku tahu kau takdir ku.
HANUM
Tidak pernah aku sesali keputusan yang aku ambil dulu.
TAJI (Mengingatkan Lagi)
Kau masih belum tahu apa-apa waktu itu.
HANUM
Tidak. Aku tahu waktu itu. Aku berikan pada lelaki yang tepat malam itu.
TAJI
Kau jatuhkan keputusanmu kepadaku waktu itu.
HANUM (Membalas-Senyum)
Aku sudah tahu apa-apa waktu itu.
TAJI
Aku kangen.
HANUM
Tidak perlu. Kita selalu ada di sana setiap waktu.
TAJI
Jangan pernah selain aku.
HANUM
Cuma kau yang ada di sana sepanjang waktu.
TAJI
Kita di sana sepanjang waktu.
HANUM (Meyakinkan Taji)
Tidak akan mau aku di sana kalau tidak kau.
TAJI
Sudah aku dapatkan anugerah terbesarku dari Yang Kuasa.
HANUM
Aku syukuri selamanya.
GEDORAN PINTU TIBA-TIBA TERJADI LAGI. HANUM DAN TAJI TERSADAR KEMBALI. CEPAT HANUM MENUTUP TELINGA DENGAN TANGANNYA. TAJI REFLEK MENGAMBIL LAGI PISAU YANG TADI DI LETAKAN HANUM. SUASANA CEPAT BERUBAH LAGI. LAMPU PENTAS WARNA LAIN.
TAJI (Lebih Yakin Dari Sebelumnya)
Betul, mereka semua ini. Tidak aku sangka rapih sekali.
HANUM (Mengerti)
Kau sudah di paksa dulu! Di penjarakan tidak dengan pengadilan. Lalu apa lagi sekarang?
TAJI
Tidak berani mereka pergi dari mencurigai ku.
HANUM
Kau sudah di korbankan.
TAJI
Pengkhianat itu di mana-mana sama saja.
HANUM
Belum lagi di pulihkan yang dulu itu.
TAJI (Tersenyum Sinis)
Dengan seorang tua saja mereka takut.
HANUM (Takut)
Kau sudah maafkan mereka. Ingat Pak...
SUASANA DIAM SESAAT. KOSONG. HANYA MATA MEREKA YANG BICARA KEMBALI. TAPI KALI INI JAUH MELEWATI FIKIRAN MEREKA MASING-MASING. SAMPAI KEMUDIAN DI PECAHKAN OLEH SUARA TAJI.
TAJI (Memandangi Pisau Di Tangannya Lalu Kembali Kepada Fikiran Yang Tadi-Tersenyum)
Masih tajam rupanya.
HANUM (Takut)
Sudah lama kau tidak mengasahnya....
TAJI (Kepada Dirinya)
Yang tajam tidak akan pernah tumpul.
HANUM (Takut)
Biar aku simpankan kembali.
TAJI (Kepada Dirinya)
Seharusnya memang terus aku gunakan.
HANUM (Takut)
Biar aku simpankan kembali.
HANUM MENATAP TAJI. SEMENTARA TAJI KAKU MENGHADAPI PINTU. BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM KEMBALI TERDENGAR, MULA-MULA JAUH UNTUK KEMUDIAN MAKIN LAMA TERDENGAR JELAS.
BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM ITU SEPERTI BATANG-BATANG JARUM YANG BERJATUHAN DARI ATAS MENUSUK-NUSUK KEPALA MEREKA. HANUM KELIHATAN BERUSAHA MENAHAN KE TERSIKSAANNYA. TAJI MASIH TETAP BERDIRI KAKU MENGHADAPI PINTU. TAPI KALI INI JUSTERU TAJI YANG KELIHATAN LEBIH TERSIKSA. TANGAN TAJI YANG MENGGENGGAM PISAU TAMPAK MULAI GEMETAR. TAJI MULAI BASAH OLEH KERINGAT. EKSPRESINYA LAIN.
TAJI
Sudah selesai diam ku sekarang.
HANUM (Takut)
Biar aku simpankan kembali.
TAJI
Kita tidak boleh di rampok lagi.
HANUM (Takut)
Biar aku simpankan kembali.
TAJI
Mereka yang harus bayar sekarang. Aku sudah cukup sabar. Harus aku ambil hak aku sekarang. Biar mereka tahu siapa yang pengkhianat? Siapa yang mereka lawan seharusnya? Mereka harus tahu diri, siapa yang menjadikan mereka seperti sekarang? Kalau saja mereka sadar? Mereka tidak tahu apa-apa selama ini. Mereka fikir siapa aku? Tidak tahu sopan-santun! Karena aku mengikuti perintah tugas ku dulu lalu selamanya aku di anggap berbahaya? Aku tidak pernah berniat jadi tukang teriak-teriak untuk menyeret yang lain. Aku bukan pelacur pengecut! Aku masih tetap pada sumpah ku. Kalau aku mau sudah dari dulu aku bongkar semua! Sekarang mereka mau mulai lagi. Baik. Aku layani! Selamanya aku bukan yang mereka kira selama ini. Kalau aku diam selama ini juga karena permintaan mereka. Tetapi tetap saja mereka gelisah, itu di tunjukan dengan tindakan mereka selama ini. Selalu saja mereka tutupi kerakusan mereka dengan mengungkit-ungkit masa lalu aku. Tahu apa mereka semua? Tahu apa perakus-perakus itu? Benar-benar tidak punya moral! Gerombolan para bajingan pelahap yang haram! Generasi durhaka...!
TAJI KELIHATAN KELELAHAN. SEMENTARA WAKTU TAJI BICARA PANJANG TADI, HANUM BOLAK-BALIK MEMERIKSA JENDELA YANG ADA DI DALAM RUANGAN APAKAH MASIH ADA YANG TIDAK TERTUTUP RAPAT. HANUM KELIHATAN BERUSAHA MEYAKINKAN DIRINYA SENDIRI BAHWA TIDAK ADA ORANG LAIN YANG MENDENGAR TAJI BICARA PANJANG TADI.
HANUM KEMUDIAN TAMPAK MENGAMBIL SELEMBAR HANDUK LALU MENGELAP KERINGAT LEHER DAN TUBUH TAJI YANG KELELAHAN. SEMENTARA TAJI MASIH TETAP MENGGENGGAM PISAUNYA.
LAMPU PENTAS TIDAK BERUBAH WARNA.
HANUM
Biar aku simpankan kembali.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara)
HANUM (Khawatir-Mengingatkan)
Kita sudah buktikan kita bisa tidak punya pisau.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara)
HANUM (Khawatir-Mengingatkan)
Aku juga sudah memaafkan mereka.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara)
HANUM (Khawatir-Mengingatkan)
Kasihan mereka.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara)
HANUM (Khawatir-Mengingatkan)
Aku sudah tidak iri lagi.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara, Tapi Agak Menatap HaNUM)
HANUM (Sabar)
Ya. Aku mengerti.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara, Tapi Agak Menatap HanUM)
HANUM (Sabar)
Tidak. Kita bukan seperti yang mereka tuduhkan.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara, Tapi Agak Menatap Hanum)
HANUM (Sabar)
Iya, iya... Mereka cuma menjalankan perintah. Seperti anak-anak kecil yang mendapatkan tugas dari guru sekolahnya.
TAJI (Bicara Tapi Tidak Terdengar Penonton)
HANUM (Membimbing Taji Duduk)
Tidak apa-apa, Pak. Kau memang pantas marah. Kau boleh marah kalau memang mau marah. Kau juga bisa diam seperti yang sudah kau perlihatkan selama ini kalau memang kau mau diam.
TAJI (Seperti Bicara Memotong)
HANUM
Ya? Bagaimana?
TAJI (Mengulang)
HANUM (Faham)
Oh.... begitu? Biarkan, Pak. Yang tertidur suatu saat pasti akan terjaga juga.
TAJI (Bicara. Tapi Suaranya Semakin Berat)
HANUM (Memberi Pengertian)
Tidak, Pak. Memang bukan kita yang bisa membangunkannya. Tapi waktulah yang pasti akan melakukannya.
TAJI (Membantah. Kelihatan Tidak Yakin-Curiga)
HANUM (Lebih Sabar)
Sang waktu tidak akan berfihak kepada siapa pun, Pak. Tidak juga kepada mereka. Jangan khawatir.
TAJI (Masih Tidak Yakin)
HANUM (Meneruskan)
Selama ini memang lambat sekali dia berputar kalau sedang bersama kita. Tapi dia masih tetap menghampiri kita. Paling tidak Itulah bukti kalau dia tidak pernah bisa di pengaruhi oleh mereka.
TAJI (Menanyakan Sesuatu Kepada Hanum)
HANUM (Tersenyum)
Tidak, Pak. Justeru aku memiliki segalanya yang kau berikan selama ini. Kita tidak semiskin seperti yang mereka kira? Kau tidak usah memikirkan soal itu. Aku tidak pernah merasa tersengsarakan selama ini bersama mu, Pak.
TAJI (Dengan Ekspresi Lain)
HANUM (Meyakinkan Taji)
Aku isterimu, Pak. Tuhan tahu ketika Dia berikan nafas kepadaku, itu untuk aku percayakan kepadamu. Dan kau sudah menjaganya dengan baik.
SENYUM PAHIT
TAJI (Kelihatan Sedikit Tenang)
HANUM
Kau suamiku.
UNTUK SEMENTARA HANUM BERHASIL MENENANGKAN TAJI. ATAU SEBALIKNYA JUSTERU HANUM BERHASIL MENENANGKAN DIRINYA SENDIRI. BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM KEMBALI TERDENGAR NORMAL. HANUM MEMBERIKAN AIR KEPADA TAJI.
TAJI MEMINUM AIR YANG DI BERIKAN HANUM DENGAN PISAU YANG MASIH TETAP TERGGENGGAM DI TANGANNYA. HANUM MEMANDANGINYA DENGAN IBA. MATA HANUM BERBICARA. KEMUDIAN HATINYA BERSUARA.
HANUM
Sekian lama aku menjaganya jangan sampai dia mengalami suasana hati seperti ini. Tapi malam ini tidak tahu kemana harus aku sembunyikan hatinya? Aku mencintainya, teramat sangat mencintainya. Malam ini tidak boleh ada yang mengambilnya. Siapapun saja. Apapun saja. Biarkan aku, biarkan aku....
(Diam Sesaat)
Dia masih tetap suamiku seperti yang dulu. Aku mau dia masih harus merayuku setiap malam sebelum hawa dingin akhirnya mengingatkan kami untuk segera tidur.
(Hanum Mulai Menangis)
Aku masih terus mau dia pandangi aku kalau tidak bisa memberikan uang belanja dapur kepada ku
(Diam)
Matanya.... tidak bisa aku tanpa matanya yang bicara setiap dia merasa iba kepada ku.
Tidak! Tidak apa pun yang boleh mengambilnya dari aku! Biarkan aku saja. Aku saja. Dia sudah pergi dulu. Dia di paksa pergi dulu. Sekarang dia tidak boleh pergi lagi.
Entah bagaimana dia tanpa aku? Tidak boleh lagi ada yang membawanya pergi sekarang. Tidak. Tidak juga dirinya sendiri. Biarkan aku saja. Aku saja. Dia sudah di buang oleh negeri ini. Negerinya sendiri. Negeri yang ikut dia bantu waktu lahir dulu. Sekarang kesombongan dan kebodohan bangsanya sendiri yang melumpuhkannya. Dia tidak bisa pergi kemana-mana sekarang. Dia memang cuma bisa pergi kepada ku.
(Meletakan Tangan Taji Ke Dadanya)
Tempatnya di sini.
TAJI (Tampak Pasrah. Pisau Di Tangannya Mulai Lemah Ia Genggam)
HANUM (Kepada Taji)
Biar aku simpankan kembali.
TAJI (Membiarkan Pisau Di Ambil Hanum Dari Tangannya. Sekarang Pisau Ada Pada Tangan Hanum )
HANUM (Meraih Kepala Taji Lalu Di Dekapkan Ke Dadanya. Hanum Berusaha Menenteramkan Taji Lebih Lagi)
Suamiku. Kau suamiku. Selamanya.
TAJI (Tampak Seperti Menemukan Sesuatu. Damai)
HANUM (Masih Menangis)
Biarkan aku saja, aku saja....
GEDORAN PINTU TIBA-TIBA. SUARANYA LEBIH KERAS. MAKIN LAMA MAKIN BRUTAL. KALI INI SUARA GEDORAN MENGESANKAN LEBIH DARI SATU ORANG YANG MELAKUKANNYA.
PADA PERISTIWA INI SEBAIKNYA LAMPU DI ATUR TERBAGI DUA. HANYA MENYINARI KEPADA DUA TOKOH YANG SEDANG BERMAIN DAN YANG MENGARAH KE PINTU SAJA. SEMENTARA YANG MENERANGI BAGIAN PANGGUNG LAIN DI PADAMKAN.
SUASANA KEMBALI TEGANG. BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM MAKIN CEPAT TEMPONYA. KEMUDIAN SUARA KERETA LEWAT CEPAT. LALU SUARA LANGKAH-LANGKAH KAKI TERBURU-BURU. HANUM KELIHATAN BERJUANG KERAS MENENTERAMKAN TAJI SAMBIL TETAP MENDEKAPKAN KEPALA TAJI KE DADANYA. MEREKA TIDAK BERSUARA.
TAJI (Matanya Saja)
HANUM (Matanya Saja)
TAJI (Menatap Hanum-Kemudian Memejamkan Matanya)
HANUM (Menatap Taji-Melihat Ke Arah Pintu-Kemudian Kepada Penonton-Lalu Air Matanya Jatuh)
Dia suamiku. Biarkan aku saja. Aku saja....
LAMPU GELAP PADA TAJI DAN HANUM. UNTUK KEMUDIAN DI ATAS PANGGUNG HANYA PINTU YANG TERUS DI GEDOR-GEDOR DENGAN BRUTAL YANG MASIH BISA DI LIHAT OLEH PENONTON. SEMAKIN LAMA BERTAMBAH KASAR. SAMPAI LAMPU PERLAHAN MENYUSUT JADI REMANG. KEMUDIAN PINTU YANG DI GEDOR PUN AKHIRNYA TERDOBRAK JUGA- BERBARENGAN DENGAN PADAMNYA LAMPU PADA PINTU. PANGUNG GELAP SAMA SEKALI. CUMA BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM MEMENUHI RUANGAN. MAKIN LAMA TEMPONYA TERDENGAR SEMAKIN CEPAT. SAMPAI TIBA-TIBA HILANG MENDADAK. PANGGUNG SEPI. TIDAK SATU PUN BUNYI. TIDAK SATU PUN. TIDAK SATU. TIDAK.
BAGIAN KE DUA
SEBELUM LAMPU MENYALA KEMBALI SEBAIKNYA BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM TIDAK DI PERDENGARKAN TERLEBIH DAHULU.
PADA BAGIAN KE DUA SANDIWARA INI PENONTON AKAN MENDAPATKAN PANGGUNG YANG MENGGAMBARKAN SEBUAH RUANGAN DALAM DARI SEBUAH RUMAH YANG SAMA YANG ADA PADA BAGIAN PERTAMA SANDIWARA INI. HANYA SAJA KONDISINYA YANG SUDAH BERUBAH SAMA SEKALI.
KETIKA LAMPU DI ATAS PANGGUNG PERLAHAN-LAHAN MULAI MENYALA KEMBALI, TAMPAK PINTU RUMAH YANG SUDAH TERGELETAK DI LANTAI PANGGUNG, JUGA KURSI DAN MEJA YANG SUDAH TIDAK LAGI BERATURAN BERADA PADA TEMPAT SEBELUMNYA.
TAJI SENDIRIAN REBAH DI LANTAI PANGGUNG DENGAN PISAU YANG BERDARAH TERGGENGGAM DI TANGANNYA.
SEMENTARA HANUM DUDUK DI SALAH SATU SUDUT PENTAS DI BAWAH TEMPAT TIDUR SAMBIL MEMELUK KEDUA LUTUTNYA YANG DI LIPAT KE ATAS DAN MENGGOYANG-GOYANGKAN BADANNYA KE DEPAN KE BELAKANG. BANYAK DARAH DI SEKITAR TAJI TAPI HANYA SEDIKIT PADA PAKAIAN HANUM.
BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM TERDENGAR MAKIN LAMA MAKIN MENDEKAT.
SUASANA PAGI TAPI BELUM TERLALU JADI.
HANUM (kosong. Bicara sendiri)
Selamanya tidak akan ada. Tidak akan ada....
Biasanya bulan meletakan sedikit cahayanya di sana ...
Gelap di luar. Belum tengah malam, belum tengah malam....
DI UCAPKAN BERULANG-ULANG. LAMPU PANGGUNG GELAP PERLAHAN.
BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM DI ANTARA DIALOG HANUM.
LALU GELAP SE ISI RUANGAN.
S E L E S A I
Citayam, 16 Juni 2005.
Syaiful affair.
BELUM TENGAH MALAM
Karya Syaiful Affair
BAGIAN PERTAMA
BAHKAN KETIKA SANDIWARA INI BARU DI MULAI, PENERANGAN DI ATAS PANGGUNG SEBAIKNYA DI ATUR SEDEMIKIAN RUPA SEHINGGA CAHAYA YANG DI DAPAT NANTINYA BISA MENGESANKAN HANYA AKIBAT DARI NYALA LAMPU MINYAK SAJA.
PANGGUNG MENGGAMBARKAN SEBUAH RUANGAN DALAM DARI SEBUAH RUMAH YANG SANGAT SEDERHANA. SEBUAH TEMPAT TIDUR, SEBUAH MEJA DAN BEBERAPA BUAH KURSI YANG KELIHATAN SUDAH TUA. BEBERAPA PERALATAN RUMAH LAINNYA YANG SAMA TUANYA JUGA TAMPAK DI SANA. JUSTERU DI SAAT LAMPU PANGGUNG BELUM LAGI MENYALA SEMPURNA, DUA ORANG SUDAH KELIHATAN DI SANA. HANYA BUNYI DETAK JARUM JAM SEBAGAI LATAR BELAKANG SUARA YANG ADA, SEBELUM AKHIRNYA DI PECAHKAN OLEH BUNYI KETUKAN PINTU YANG TERDENGAR SESEKALI. SEBUAH JAM DINDING TUA TAMPAK BURAM KARENA SEDIKIT KEBAGIAN CAHAYA.
SUASANA MALAM TAPI BELUM TERLALU TENGGELAM.
HANUM (Cemas)
Mungkin sekarang kita?
TAJI
Ya.
HANUM
Yakin?
TAJI
Fikiranku ke sana.
HANUM
Barangkali saja....
TAJI
Apa?
HANUM
Barangkali saja ada menurut mereka?
TAJI
Mereka?
(HERAN)
kamu bilang mereka?!
HANUM
Kenapa?
TAJI
Kok tahu kalau yang di luar itu mereka?
HANUM
Mereka atau pun cuma sendirian kan sama saja?
TAJI
Kalau cuma sendirian mungkin aku masih bisa mengatasi. Tapi kalau yang di luar itu mereka, aku tidak yakin. Beda kan?
HANUM
Aku juga tidak yakin yang di luar itu mereka atau cuma sendirian? Aku tadi cuma menduga-duga saja. Soalnya berani benar dalam suasana seperti sekarang ini mau masuk ke rumah orang kalau cuma sendirian?
TAJI
Mungkin saja sudah punya persiapan, Atau barangkali saja sambil menunggu teman-temannya yang belum datang, sementara dia sendirian menteror lebih dulu dengan mengetuk-ngetuk pintu rumah kita seperti ini. Bisa saja kan?
HANUM
Kenapa kita?
TAJI
Sekarang orang sudah tidak bisa lagi membedakan mana orang kaya atau bukan, iya kan? Sekarang bahkan banyak orang-orang kaya yang berpura-pura miskin. Dan juga sebaliknya. Maka sekarang giliran kita yang di kira berpura-pura. Mungkin saja kan?
SEMENTARA MEREKA MASIH BERDIALOG, SUARA KETUKAN PINTU RUMAH MEREKA KEMBALI TERDENGAR. HANUM KELIHATAN MAKIN GELISAH. SEMENTARA TAJI BINGUNG TIDAK TAHU APA YANG HARUS DI LAKUKAN.
HANUM
Tapi tidak dengan kita. Mereka seharusnya tahu itu. Tidak mungkin orang tidak tahu kalau kita ini miskin? Tanpa kita harus umumkan ke semua orang, seharusnya semua orang tahu! Cuma orang tolol saja yang tidak tahu!
(AGAK KESAL TAPI MASIH KELIHATAN GELISAH)
TAJI
Sudah, biar aku bukakan saja pintunya!
HANUM (Cepat)
Jangan, Pak! Bagaimana kalau memang sekarang ini giliran kita?
TAJI
Loh?! Tadi kan kamu bilang semua orang sudah tahu kalau kita ini bukan orang kaya?
HANUM
Tadi itu aku hanya menduga-duga saja kalau semua orang sudah tahu.
TAJI
Loh?!
HANUM
Bapak sendiri juga tadi ikut menduga-duga, kan?
TAJI
Sudah aku bukakan saja...
(HENDAK MENERUSKAN NIATNYA)
HANUM (Cepat)
Kalau benar mereka mau merampok kita, bagaimana?
TAJI (Ragu)
Mungkin cuma mau bertamu saja, ini?
HANUM
Kok tengah malam begini?
TAJI
Belum.
HANUM
Tapi jangan. Tidak usah saja.
TAJI
Jadi diam saja begini? Tidak melakukan apa-apa? (Kesal)
HANUM
Dari tadi kita belum tanyakan apa maunya?
TAJI (Sadar)
Biar aku tanyakan.
(Kepada Yang Mengetuk Pintu)
Ya...? Siapa?? Mau apa? Ada perlu apa?
TIDAK ADA JAWABAN APA PUN. JUSTERU YANG MAKIN JELAS TERDENGAR ADALAH BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM.
HANUM (Tetap Dengan Gelisah)
Pasti sudah. Tidak bermaksud baik ini!
TAJI (Mulai Kesal Lalu Kembali Bicara Dengan Yang Mengetuk Pintu)
Hooyy..! Yang diluar! Jangan cuma mengetuk pintu saja! Jawab dulu, apa maunya? Ada perlu apa? Mencari siapa? Kalau tidak ada yang penting, pergi sana! Jangan mengganggu orang malam-malam begini! Apa tidak bisa besok saja mengetuk pintunya? Ketuk saja lagi besok, kami tidak keberatan! Asal jangan malam-malam seperti ini! Tidak sopan mengetuk pintu rumah orang malam-malam begini! Sudah, kembali saja besok pagi!
KEMBALI TIDAK ADA JAWABAN DARI YANG DI AJAK BICARA TADI. JUSTERU BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM YANG KEMBALI MAKIN JELAS TERDENGAR.
HANUM
Bagaimana ini, Pak? Aku mulai takut sekarang....
TAJI
Jangan bikin aku panik, Bu.
HANUM
Kok aku yang di salahkan Bapak sekarang?
TAJI
Siapa yang menyalahkan?
HANUM
Siapa?
TAJI
Tidak.
HANUM
Tadi?
TAJI
Aku cuma panik tadi.
HANUM
Kok Bapak yang panik? Aku...!
TAJI
Sejak tadi aku sudah lebih dulu, cuma aku tidak mau bilang sama kamu.
HANUM
Salah Bapak sendiri.
TAJI
Loh, kok kamu menyalahkan aku, sekarang?
HANUM
Siapa yang menyalahkan?
TAJI
Siapa?
HANUM
Tidak.
TAJI
Tadi?
HANUM
Aku cuma....
(TERTAHAN KARENA KEMBALI TERDENGAR SUARA PINTU DI KETUK ORANG. KALI INI LEBIH LAMA TEMPO KETUKANNYA)
TAJI (Diam. Hanya Matanya Saja Yang Bicara)
HANUM (Diam. Menutup Kedua Telinganya)
TAJI (Kepada Hanum, Tapi Masih Kelihatan Ragu-Ragu)
Ambilkan senjata, sana!
HANUM (Tidak Yakin)
Pak?!
TAJI
Sudah, cepat!
HANUM (Takut)
Apa?
TAJI
Yang bisa buat melindungi diri.
HANUM (Bingung, Bicara Sambil Beranjak)
Pisau?
TAJI
Kok pisau? Golok!
HANUM
Tidak punya.
TAJI (Heran)
Golok?
HANUM (Mengulangi)
Ya, tidak punya...
TAJI
Kapak kalau begitu!
HANUM
Pisau.
TAJI
Kok pisau? Kapak!
HANUM
Tidak punya.
TAJI (Heran)
Kapak?
HANUM (Mengulangi)
Ya, tidak punya...
TAJI
Kalau begitu, linggis!
HANUM
Pisau.
TAJI
Kok pisau? Linggis!
HANUM
Tidak punya.
TAJI (Heran)
Linggis?
HANUM (Mengulangi)
Ya, tidak punya...
TAJI
Jadi?
HANUM
Pisau.
TAJI (Heran)
Cuma pisau?
HANUM
Itu pun aku tidak yakin sudah tumpul apa tidak? Bapak sendiri kan sudah lama tidak lagi suka mengasah pisau? Ya, kan?
TAJI (Mengingat)
Seingatku waktu mau memotong dua ekor ayam milik kita yang kurus-kurus itu...
HANUM
Itu tiga puluh dua tahun yang lalu. Seingatku justeru waktu kita masih mampu membeli dua ikat kangkung. Dan Bapak menangis waktu itu, melihat aku hanya memotong kangkung, karena tidak punya lagi bahan makanan yang bisa aku potong-potong dengan pisau itu.Ya, tinggal pisau itu saja yang masih bisa kita miliki, karena waktu Bapak mau menjualnya dulu tidak ada orang yang mau membeli? Siapa yang mau membeli pisau dapur tua yang sudah tipis? Tidak ada.
Dan pisau itu juga yang hampir saja membunuh kita? Bapak ingat waktu kita putus asa dulu karena tidak lagi punya apa-apa dan tidak bisa lagi membeli apa-apa, bahkan hanya untuk seikat kangkung? Pisau itu juga yang hampir kita gunakan untuk bunuh diri? Untung waktu itu kita bingung siapa yang akan menggunakannya lebih dulu? Karena tidak kita temukan kata sepakat maka sampai hari ini niat bunuh diri itu masih kita tunda.
TAJI
Tapi seingatku waktu dua ekor ayam kurus itu ....
HANUM (Cepat-Memotong)
Itu tiga puluh dua tahun yang lalu.... Bahkan waktu itu pun ayamnya tidak jadi kita potong tapi kita jual, dan uangnya kita gunakan untuk membayar hutang-hutang kita. Sedangkan kita sendiri kembali hanya makan kangkung dari sisa uang menjual dua ekor ayam dan membayar hutang-hutang kita itu.
TAJI
Kalau begitu belum tiga puluh dua tahun yang lalu?
HANUM
Sudah. Yang tadi aku ceritakan itu bukan tentang kangkung hasil menjual ayam-ayam itu, tapi cerita kangkung yang lain?
TAJI
Cerita kita yang lain.
HANUM
Cerita kangkung kita yang lain.
SUASANA DIAM, HANYA BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM YANG MAKIN JELAS TERDENGAR, UNTUK KEMUDIAN KEMBALI DI PECAHKAN OLEH SUARA KETUKAN PINTU OLEH ORANG YANG DI LUAR.
KALI INI KETUKANNYA SUDAH BISA DI BILANG BUKAN LAGI KETUKAN TAPI SUDAH MENJADI GEDORAN!
TAJI (Kepada Hanum)
Cepat goloknya!
HANUM (Cepat)
Pisau.
TAJI
Kapak!
HANUM
Pisau.
TAJI
Linggis!
HANUM
Pisau.
TAJI
Pisau!
HANUM CEPAT BERGERAK. KELIHATAN IA LALU MENCARI-CARI DI BALIK TUMPUKKAN BARANG-BARANG YANG ADA DI SITU, MAKIN LAMA MAKIN TIDAK LAGI SEPERTI MENCARI TAPI SUDAH TAMPAK SEPERTI MEMBONGKAR-BONGKAR/MENGACAK-ACAK.
GERAKANNYA MAKIN LAMA MAKIN CEPAT. DAN BERTAMBAH CEPAT LAGI DENGAN TIBA-TIBA SETIAP KALI GEDORAN PINTU TERDENGAR DARI LUAR.
TAJI (Kepada Hanum)
Jangan hiraukan!
(Panik Tapi Tidak Mau Memperlihatkannya Kepada Hanum)
Jangan panik! Terus cari!
(Terganggu Dengan Suara Gedoran Pintu Tapi Tidak Mau Memperlihatkannya Kepada Hanum)
Cuma suara gedoran pintu. Bukan apa-apa! Teruskan! Cari!
(Mengambil Kursi Lalu Di Halangkan Di Balik Pintu Bicara Sendiri)
Kalau cuma sendirian, cukup dengan ini!
(Kepada Hanum Yang Masih Sibuk Membongkar-Bongkar)
Sudah aku halangi. Tidak usah panik, teruskan saja cari.
BUNYI SUARA GEDORAN PINTU TERUS TERDENGAR. KALAU MUNGKIN KURSI YANG DI PAKAI UNTUK PENGHALANG PINTU DAPAT DI LIHAT PENONTON BERGERAK-GERAK SETIAP KALI GEDORAN PINTU TERJADI.
TAJI TAMPAK TERUS MEMBERI DORONGAN KEPADA HANUM UNTUK MENCARI, TAPI DIA SENDIRI KELIHATAN LEBIH PANIK DARI HANUM TAPI TIDAK BERUSAHA MEMBANTU UNTUK MENCARI. SUARA GEDORAN SEMAKIN SERING TERDENGAR. HINGGA AKHIRNYA HANUM MENEMUKAN PISAU YANG DI CARINYA. CEPAT HANUM MEMBERIKAN PISAU ITU KEPADA TAJI. LAMPU CEPAT BERUBAH WARNA BERSAMAAN DENGAN DI TERIMANYA PISAU OLEH TAJI. SUASANA PUN CEPAT BERUBAH LAIN. TIDAK ADA YANG BICARA. CUMA MATA MEREKA. SUASANA DIAM HANYA BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM YANG TERDENGAR JELAS.
PAUSE. SAMPAI AKHIRNYA SEMUA ITU DI PECAHKAN OLEH SUARA HANUM.
HANUM
Apa betul perlu, itu?
(MENUNJUK PISAU DI TANGAN TAJI)
TAJI (Matanya Menatap Pisau Di Tangan)
Aku tidak menyangka kalau sekarang jadi begini penting dan di butuhkan. Padahal sudah lama kita lupakan benda ini. Bagaimana bisa masih kau simpan pisau ini?
HANUM
Tidak laku di jual.
TAJI
Buang.
HANUM
Sudah dulu.
TAJI
Lalu?
HANUM
Aku ambil kembali.
TAJI
Kenapa?
HANUM
Karena aku tidak mau kita tidak punya pisau.
TAJI
Tapi kita sudah buktikan kita bisa tidak punya pisau?
HANUM
Tidak malam ini.
SUARA GEDORAN PINTU KEMBALI TERDENGAR. LAMPU BERUBAH CEPAT KEMBALI. MEREKA MAKIN TEGANG.
TAJI
Aku kira sekarang saatnya!
HANUM (Tampak Sekali Khawatir)
Tapi aku masih kurang yakin?
TAJI (Menguatkan Diri)
Aku tidak!
HANUM
Kejadian yang di alami Pak Arif dulu itu, apa masih ingat?
TAJI
Siapa?
HANUM
Tetangga empat rumah dari tempat kita ini. Yang di sebelah kiri.
TAJI
Dia tidak seperti kita.
HANUM
Memang dia tidak miskin seperti kita, tapi cerita orang-orang di luar sana tentang peristiwa Pak Arif itu sangat mirip dengan apa yang sedang kita alami malam ini. Pada malam kejadian itu, isterinya bilang Pak Arif juga memegang pisau di tangannya.
TAJI
Kalau begitu sekarang ini aku sedang melakukan tindakan yang tepat!
HANUM
Belum tahu.
TAJI (Memperlihatkan Kepada Hanum)
Tapi pisau ini?!
HANUM
Pagi hari setelah malam kejadian itu orang-orang menemukan Pak Arif juga dengan pisau. Tapi pisau miliknya itu sudah tertancap di dadanya sendiri.
TAJI
Pisau yang baik dan bagus tentunya?
(MENARIK NAFAS)
HANUM
Bukan soal lagi baginya pisau itu baik dan bagus atau tidak kalau sudah seperti itu.
TAJI
Tapi Pak Arif itu orang kaya. Tentunya ada alasan buat perampok itu membunuhnya? Begitu juga sebaliknya.
HANUM
Merampok, ya merampok.
TAJI
Selalu ada alasannya.
HANUM
Kita tidak kaya seperti Pak Arif.
TAJI
Itu! - itu bisa di jadikan alasan buat merampok kita!
HANUM (Tidak Mengerti)
Kita tidak kaya seperti Pak Arif?
TAJI
Karena kita miskin. Mungkin itu yang di jadikan alasan untuk merampok kita malam ini? Bisa saja kita sudah di anggap menghambat atau merusak nafsu dan kegemarannya merampok?
(Diam)
Tanpa kita sadari selama ini, ternyata kemiskinan kita sudah mengganggu mereka.
HANUM
Tapi selama ini tetangga-tetangga kita yang tidak miskin seperti kita mereka tidak pernah protes kepada kita?
TAJI
Tidak mau. Mereka tidak akan membuang-buang energi percuma. Karena mereka tahu kita tidak akan mampu pergi dari kemiskinan ini.
HANUM (Menduga)
Kalau begitu? Selama ini tetangga-tetangga kita itu....?
TAJI (Meneruskan Fikiran Hanum)
Sekarang saja, malam ini tidak satu pun dari mereka yang mau keluar rumah buat perduli sama kita. Mereka sebenarnya sudah lama terganggu dengan kemiskinan kita ini.
HANUM (Berfikir. Agak Berprasangka)
Mereka semua itu? Jadi....?
TAJI (Yakin)
Sekongkol sudah dengan perampok yang di luar itu. Mereka sengaja membiarkan bahkan mungkin membayar perampok itu buat melenyapkan kita!
HANUM
Tetapi tetangga kita yang di sebelah kanan depan sana, dia komandan polisi?
TAJI
Jarang ada di situ. Itu cuma rumah wanita simpanannya.
HANUM
Tapi dia pernah menolong kita.
TAJI
Waktu itu dia cuma menolong dirinya sendiri.
HANUM
Dia Polisi.
(TERDENGAR LEBIH DI TEKAN MENGUCAPKANNYA)
TAJI
Dia cuma maling berseragam Polisi.
HANUM
Lalu Pak Darmat? Bagaimana? Dia Kiai.
TAJI
Kalau pergi ke masjid tidak pernah mau lewat jalan di depan rumah kita.
HANUM
Tapi apa mungkin? Pak Darmat itu Kiai juga Haji.
TAJI
Kiai Haji itu manusia juga.
HANUM
W i r y o!
TAJI
Cuma jagoan kampung!
HANUM
Tapi apa salah kita?
TAJI
Miskin!
HANUM
Bukan salah kita kalau tidak kaya seperti mereka. Lagi pula apa salah kita kepada mereka kalau kita miskin?
Kenapa mereka harus merasa terganggu dengan kemiskinan kita? Lagi pula apa salahnya kalau kita miskin? Aku saja tidak pernah merasa terganggu dengan ketidak miskinan mereka? Memang aku pernah merasa iri kepada mereka, tapi itu dulu. Dan itu cuma sekedar iri? Setiap orang kan punya hak untuk merasa iri.
TAJI
Tidak dengan kita.
HANUM
Jadi orang miskin sekarang tidak punya hak lagi untuk merasa iri?
TAJI
Kita sudah terlalu miskin.
HANUM
Itu juga bukan hak kita?
TAJI (Lebih Kepada Dirinya Sendiri)
Sekarang ini jadi orang miskin sangat berbahaya!
HANUM
Aku takut, Pak.
TAJI
Kita sendirian sekarang.
UNTUK BEBERAPA SAAT MEREKA SIBUK DENGAN FIKIRANNYA MASING-MASING. HANUM TAMPAK MULAI MENANGIS. SEMENTARA TAJI KELIHATAN MAKIN BINGUNG. SAMPAI SUARA GEDORAN PINTU KEMBALI TERDENGAR. SUASANA JADI SEMAKIN TEGANG. LAMPU BERUBAH-UBAH WARNA KADANG MENGESANKAN TAJI YANG MARAH, KADANG MENGESANKAN TAJI YANG BINGUNG. GEDORAN PINTU SEMAKIN KERAS DAN SERING. HANUM TAMPAK TERSIKSA SETIAP KALI SUARA GEDORAN PINTU TERDENGAR.
HANUM (Menutup Telinganya)
Aku takut sendirian, Pak.
TAJI
Kita terlalu miskin sekarang.
HANUM (Menutup Telinganya)
Aku takut terlalu miskin, Pak.
TAJI (Mengarahkan Pisau Ke Arah Pintu)
Kita tidak punya hak sekarang.
HANUM (Menutup Telinganya)
Aku takut tidak punya hak. Pak.
TAJI (Mengarahkan Pisau Ke Arah Pintu)
Kita mau di lenyapkan sekarang.
HANUM (Menutup Telinganya)
Aku tidak mau di lenyapkan, Pak.
SUARA GEDORAN PINTU SEMAKIN KASAR. TAJI HENDAK BERGERAK MAJU DARI TEMPATNYA SEMULA.
TAJI
Kita harus lawan ini!
HANUM (Cepat- Mencegah)
Pak Arif juga melawan waktu itu.
TAJI (Tertahan)
Kata orang?
HANUM
Isterinya yang bilang.
TAJI (Lebih Kepada Dirinya Sendiri)
Tapi, Pak Arif lebih tua dari aku.
HANUM
Waktu kejadian malam itu, umur Pak Arif sama dengan umur Bapak sekarang.
TAJI MENGGESER MEJA YANG ADA DI RUANGAN ITU LALU DI HADANGKAN KE BALIK PINTU. SEKARANG SUDAH ADA KURSI DAN MEJA YANG DI JADIKAN PENGHALANG PINTU RUMAH. HANUM KELIHATAN SEMAKIN TERSIKSA. TANGANNYA SESEKALI DI LEPASKAN DARI TELINGANYA, TAPI KEMUDIAN DI TEMPELKAN KEMBALI MENUTUP TELINGANYA SETIAP KALI DIA SADAR AKAN ADA SUARA GEDORAN PINTU. TAJI TAMPAK SEMAKIN BINGUNG, UNTUK KEMUDIAN KELIHATAN DIA BERUSAHA MEMUNCULKAN KEBERANIAN DARI DALAM DIRINYA, TAPI APA YANG DI HARAPKANNYA ITU TETAP DIA RASAKAN TIDAK ADA. GEDORAN PINTU SEMAKIN KERAS. TAJI MEMAKSAKAN KAKINYA AGAR MELANGKAH MAJU SEDIKIT LEBIH DEKAT DENGAN PINTU. KELIHATAN DIA BERJUANG KERAS UNTUK MELAKUKANNYA. HANUM MEMPERHATIKAN PERJUANGAN TAJI, JUGA DENGAN TANGAN YANG MAKIN KERAS DAN RAPAT MENUTUP TELINGANYA.
TAJI (Dengan Nafas Tertahan)
Biar aku lihat lewat jendela.
HANUM (Naik Ke Atas Tempat Tidur)
Jangan terlalu dekat!
TAJI (Setelah Beberapa Saat)
Aneh? Tiba-tiba pemandangan di luar sana jadi asing buatku?
HANUM
Bagaimana?
TAJI
Kau lupa memasang lampu?
HANUM
Tidak pernah.
TAJI
Gelap diluar.
HANUM
Sudah lama sekali aku tidak pernah lagi memasang lampu di situ.
TAJI
Seharusnya kau pasang lampu sebelum gelap tadi.
HANUM
Tidak ada lagi lampu untuk di pasang di situ.
TAJI
Aku tidak bisa melihat apa-apa yang ada di luar sana.
HANUM
Perampok itu?
TAJI
Tanah saja tidak bisa aku lihat.
HANUM
Bayangannya barangkali? Dapat?
TAJI
Cuma gelap.
HANUM
Biasanya bulan ada di sana kalau sudah malam begini?
TAJI
Tidak malam ini.
HANUM
Biasanya dia letakan sedikit cahayanya di situ. Seperti tahu kalau aku sudah tidak pernah lagi memasang lampu. Tapi malam ini kenapa dia? Apa bulan juga sekarang sudah merasa terganggu dengan kemiskinan kita? Ini tidak adil! Tidak benar! Tidak benar!
TAJI
Cuma itu hak kita sekarang.
HANUM
Ketidak adilan?
TAJI
Selama ini tidak kita sadari ternyata?
HANUM
Kita sudah terbiasa menerimanya, itu soalnya.
TAJI (Melihat Kepada Hanum Dengan Iba)
Kamu benar. Kita sudah terlalu lama menempati kemiskinan dan ketidak adilan.
HANUM (Menatap Taji Dengan Haru Lalu Menangis)
Sudah. Jangan di teruskan. Aku tetap mencintaimu, Pak....
TAJI
Aku bukan suami yang baik. Bukan pada tempat yang menyengsarakan seharusnya kamu berada selama ini.
HANUM (Masih Menangis)
Sudah, Pak.... Jangan di teruskan, sudah. Bapak sudah memberikan banyak buatku. Bahkan sekarang aku sudah tidak tahu lagi apa itu kesengsaraan.
TAJI
Kamu terlalu lama sudah, Bu.
HANUM (Makin Haru. Menangis)
Tidak, Pak. Tidak ada yang terlalu lama. Bukan kesalahan bapak...
TAJI (Sebelum Memalingkan Wajahnya)
Maafkan aku, Bu.
UNTUK BEBERAPA SAAT KEMBALI MEREKA TIDAK BERKATA-KATA. CUMA SUARA ISAK TANGIS HANUM DAN BUNYI DETAK JARUM JAM YANG TERDENGAR DI RUANGAN ITU. TANPA DI SADARI SUASANA INI MEMBAWA TAJI TERDUDUK DI KURSI DENGAN KEPALA TERTUNDUK KE LANTAI. HANUM BERGERAK PERLAHAN MENDEKATI TAJI LALU MEMELUKNYA DARI BELAKANG. TAJI HANYA MENATAP KOSONG KE ARAH PENONTON. AIR MATANYA MEMAKSA KELUAR.
HANUM (Tahu Ada Air Mata Yang Mau Keluar )
Biarkan, Pak.
TAJI (Matanya Kepada Penonton)
Aku tidak akan menangis.
HANUM (Menghibur)
Pak Arif juga menangis pada malam kejadian itu.
TAJI (Matanya Kepada PenonTON)
Lelaki tidak menangis.
HANUM (Menghibur)
Isterinya yang bilang.
TAJI (Matanya Kepada Penonton)
Tidak dengan aku. Tidak akan.
HANUM (Menghibur)
Aku tahu.
UNTUK BEBERAPA SAAT MEREKA DIAM, TAPI ADA AIR MATA PADA TAJI.
TAJI (Berbalik Menatap Hanum)
Sudah berapa lama kita menikah?
HANUM
Lama.
TAJI
Sudah selama itu? Jadi kalau benar sekarang? Segalanya selesai sudah malam ini. Itu artinya tidak ada yang akan mengingat kita.
HANUM (Menghibur Lagi)
Tidak, Pak. Orang-orang sampai tadi sore masih mengingat Pak Arif.
TAJI (Kembali Matanya Kepada Penonton)
Tidak dengan aku.
HANUM (Menghibur)
Mereka pasti akan ingat.
TAJI (Matanya Kepada Penonton)
Selamanya tidak akan ada. Tidak akan ada.
HANUM (Menghibur)
Isterinya Pak Arif bilang ....
TAJI (Cepat- Memotong)
Pak Arif dan Isterinya punya tiga anak. Ada nama Arif di belakang nama mereka.
HANUM (Tersentak. Diam. Sebelum Akhirnya Kembali Menangis Lalu Bergerak Menjauhi Taji Kembali Ke Tempatnya Semula)
Selamanya tidak akan ada. Tidak akan ada....
TAJI (Lebih Kepada Dirinya Sendiri)
Orang-orang itu? Orang-orang lain itu? Mereka tidak mungkin mau repot-repot mengingat kita. Orang seperti kita memang tidak pantas untuk di ingat. Apa lagi oleh orang-orang itu. Mereka sudah terbiasa untuk tidak melihat orang seperti kita. Buat mereka semua yang pantas untuk di lupakan ada pada orang seperti kita. Tidak ada sedikit pun tempat di kepala mereka untuk mengingat kita. Bahkan mungkin tadi pagi pun mereka sudah tidak ingat lagi siapa kita?
HANUM
Sudah lebih dari tiga puluh tahun ini memang, tidak ada lagi tetangga yang menegur kita. Kalau kita coba menegur mereka lebih dulu, mereka cepat-cepat mencari cara seolah-olah kita tidak sedang ada di dekat mereka. Padahal seharusnya mereka melihat kita. Paling tidak kepada Bapak?
TAJI (Jauh)
Mereka belum ada waktu itu.
HANUM
Orang-orang tua mereka? Ibu-ibu mereka? Ayah-ayah mereka? Nenek mereka? Kakek mereka? Negeri mereka?
TAJI
Negeri ini tidak berhutang apa pun kepadaku.
HANUM
Tapi Bapak di sana waktu Negeri ini ....
TAJI (Cepat- Memotong)
Aku ikhlas.
HANUM
Bahkan bintang jasa seperti mereka yang lain-lain terima itu pun Bapak tidak dapat. Padahal Bapak yang paling pantas di bandingkan mereka semua itu? Kenapa justeru Bapak yang di lupakan?
TAJI
Negeri ini sudah di lumpuhkan mereka.
HANUM
Negeri ini tidak. Tapi kita.
TAJI
Negeri ini di paksa untuk tidak menerima kita.
HANUM
Tapi di luar negeri ini kita masih di kenal.
TAJI
Karena sering di jual.
HANUM
Tapi kita masih hidup?
TAJI
Tidak bagi mereka.
HANUM
Kejam!
TAJI
Kita sudah lama mati buat mereka.
HANUM
Tidak punya hati!
TAJI
Sudah lama mati.
HANUM
Tidak punya perasaan!
TAJI
Sudah lama mati.
HANUM
Tidak punya moral!
TAJI
Sudah. Jangan memaki.
HANUM
Mereka bukan manusia!
TAJI
Kita yang bukan manusia.
HANUM
Apa susahnya untuk punya hati, punya perasaan, dan moral? Kita saja yang miskin bisa memiliki itu? Mereka kaya!
TAJI
Tidak bisa menjaganya.
HANUM
Aku tidak mau jadi mereka.
TAJI
Jangan.
HANUM
Tapi aku juga tidak mau di jual?
TAJI
Mereka bisa melakukan apa saja pada kita.
HANUM
Kenapa harus kita? Kenapa bukan yang lain?
TAJI
Kita inilah yang lain.
HANUM
Tidak. Masih banyak yang lain.
TAJI
Kita ini yang masih banyak itu.
HANUM
Ternyata mereka yang miskin selama ini? Itu sebabnya mereka tidak mampu memilikinya.
TAJI
Kasihan mereka.
HANUM (Setelah Diam Sesaat. Ikhlas)
Aku maafkan mereka.
TAJI
Kasihan mereka. Tidak tahu bagaimana seharusnya berperasaan.
HANUM (Ikhlas)
Aku maafkan mereka.
TAJI
Kasihan mereka. Tidak tahu bagaimana seharusnya berhati.
HANUM (Ikhlas)
Aku maafkan mereka.
TAJI
Kasihan mereka. Tidak tahu bagaimana seharusnya bermoral.
HANUM (Ikhlas)
Aku maafkan mereka.
TAJI
Kasihan mereka. Aku maafkan mereka.
SUASANA DIAM SESAAT. TIDAK ADA SUARA LAIN KECUALI BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM. TAJI MEMANDANGI PISAU YANG ADA DI TANGANNYA. LAMPU BERUBAH WARNA KEMBALI, CAHAYA MENGESANKAN HANYA AKIBAT DARI NYALA LAMPU MINYAK SAJA.
HANUM (Meminta Pisau Yang Di Pegang Taji)
Biar aku simpankan kembali.
TAJI (Setelah Memberikan Pisau Kepada Hanum)
Kalau terjadi sesuatu padaku....
HANUM (Cepat. Memotong)
Tidak akan terjadi sesuatu apa padamu.
TAJI (Memberi Pengertian)
Demi keselamatanmu, sebaiknya....
HANUM (Cepat- Memotong)
Tidak. Aku tetap di sini bersamamu, Pak.
TAJI (Memohon Pengertian)
Bu?
HANUM
Aku membantahmu, Pak.
TAJI (Menatap Dalam. Dengan Sabar)
Aku suami mu.
HANUM (Dengan Hati)
Kau suami ku.
TAJI (Tersenyum)
HANUM (Tersenyum)
HANUM MELETAKKAN PISAU. UNTUK SEMENTARA MEREKA BERDUA SEPERTI MENEMUKAN KEMBALI SESUATU MILIK MEREKA YANG LAMA HILANG. TAJI MENGHAMPIRI HANUM LEBIH DEKAT. SENYUM MEREKA KELIHATAN MAKIN IKHLAS. MEREKA MASING-MASING SEPERTI TERSADAR KALAU DULU MEREKA MEMANG TELAH MENGAMBIL KEPUTUSAN YANG TEPAT. KEMBALI TIDAK ADA SUARA, CUMA HATI MEREKA. BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM SEPERTI MEMBAWA MEREKA MUNDUR KE MASA YANG LAIN.
HANUM (Tersipu)
Aku malu....
TAJI (Menempelkan Tangan Hanum Di Dadanya)
Masih aku simpan sampai sekarang.
HANUM (Malu)
Kau nakal.
TAJI (Menggoda)
Kau masih belum tahu apa-apa waktu itu.
HANUM (Malu- Mencubit Pinggang Taji)
Dasar lelaki brengsek
TAJI (Menggoda)
Aku tahu kau berusaha menutupi perasaanmu malam itu.
HANUM (Malu-Manja)
Kau permainkan aku! Mestinya aku tolak malam itu.
TAJI (Senyum)
Setelah malam itu, aku tahu kau tidak bisa lagi jauh dari aku.
HANUM (Tersenyum. Semakin Malu)
Jangan sombong. Tidak ada yang bilang begitu.
TAJI (Menggoda)
Kalau tidak karena sinar matahari yang mengganggu kita lewat jendela kamarmu waktu itu, belum tentu kau minta aku pergi waktu itu.
HANUM (Malu)
Lelaki memang tidak bisa menyimpan rahasia.
TAJI
Kenapa kau biarkan aku malam itu?
HANUM (Cemberut- Manja)
Kau lupa sudah merayu aku?
TAJI (Menggoda)
Bukan.
HANUM
Kau pandai membujuk aku.
TAJI (Menggoda)
Bukan.
HANUM
Aku masih belum tahu apa-apa waktu itu. Tadi kau yang bilang?
TAJI (Menggoda)
Bukan.
HANUM (Menyerah)
Sudah, sudah. Jangan menggoda aku terus. Kau sendiri tahu kenapa.
TAJI TAMPAK TERSENYUM. HANUM MAKIN MALU DI BUATNYA. PADA MATA MEREKA NAMPAK ADA PERISTIWA. LAMPU PENTAS KEMBALI BERUBAH WARNA. MEREKA MENIKMATI BULAN MADU YANG TIBA-TIBA LEWAT TIDAK TERDUGA MALAM INI.
BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM JELAS MAKIN TERDENGAR. SAMPAI TAJI MENANYAKAN PADA HANUM HAL YANG LAIN.
TAJI
Kenapa kau teruskan? Orang tua mu menolak aku.
HANUM
Aku tidak menolak mu.
TAJI
Tapi mereka membuang mu akhirnya.
HANUM
Tidak. Aku yang pergi.
TAJI
Mereka tidak mau lagi kau ada di sana.
HANUM (Menekan Tangannya Ke Dada Taji)
Tempat ku disini.
TAJI (Tersenyum)
Kau tahu aku mencintai mu.
HANUM (Menyandarkan Kepalanya Ke Dada Taji Lalu Bicara Perlahan Memberi Tahu)
Aku tahu kau takdir ku.
TAJI (Tersenyum Ikhlas)
Aku tahu kau takdir ku.
HANUM
Tidak pernah aku sesali keputusan yang aku ambil dulu.
TAJI (Mengingatkan Lagi)
Kau masih belum tahu apa-apa waktu itu.
HANUM
Tidak. Aku tahu waktu itu. Aku berikan pada lelaki yang tepat malam itu.
TAJI
Kau jatuhkan keputusanmu kepadaku waktu itu.
HANUM (Membalas-Senyum)
Aku sudah tahu apa-apa waktu itu.
TAJI
Aku kangen.
HANUM
Tidak perlu. Kita selalu ada di sana setiap waktu.
TAJI
Jangan pernah selain aku.
HANUM
Cuma kau yang ada di sana sepanjang waktu.
TAJI
Kita di sana sepanjang waktu.
HANUM (Meyakinkan Taji)
Tidak akan mau aku di sana kalau tidak kau.
TAJI
Sudah aku dapatkan anugerah terbesarku dari Yang Kuasa.
HANUM
Aku syukuri selamanya.
GEDORAN PINTU TIBA-TIBA TERJADI LAGI. HANUM DAN TAJI TERSADAR KEMBALI. CEPAT HANUM MENUTUP TELINGA DENGAN TANGANNYA. TAJI REFLEK MENGAMBIL LAGI PISAU YANG TADI DI LETAKAN HANUM. SUASANA CEPAT BERUBAH LAGI. LAMPU PENTAS WARNA LAIN.
TAJI (Lebih Yakin Dari Sebelumnya)
Betul, mereka semua ini. Tidak aku sangka rapih sekali.
HANUM (Mengerti)
Kau sudah di paksa dulu! Di penjarakan tidak dengan pengadilan. Lalu apa lagi sekarang?
TAJI
Tidak berani mereka pergi dari mencurigai ku.
HANUM
Kau sudah di korbankan.
TAJI
Pengkhianat itu di mana-mana sama saja.
HANUM
Belum lagi di pulihkan yang dulu itu.
TAJI (Tersenyum Sinis)
Dengan seorang tua saja mereka takut.
HANUM (Takut)
Kau sudah maafkan mereka. Ingat Pak...
SUASANA DIAM SESAAT. KOSONG. HANYA MATA MEREKA YANG BICARA KEMBALI. TAPI KALI INI JAUH MELEWATI FIKIRAN MEREKA MASING-MASING. SAMPAI KEMUDIAN DI PECAHKAN OLEH SUARA TAJI.
TAJI (Memandangi Pisau Di Tangannya Lalu Kembali Kepada Fikiran Yang Tadi-Tersenyum)
Masih tajam rupanya.
HANUM (Takut)
Sudah lama kau tidak mengasahnya....
TAJI (Kepada Dirinya)
Yang tajam tidak akan pernah tumpul.
HANUM (Takut)
Biar aku simpankan kembali.
TAJI (Kepada Dirinya)
Seharusnya memang terus aku gunakan.
HANUM (Takut)
Biar aku simpankan kembali.
HANUM MENATAP TAJI. SEMENTARA TAJI KAKU MENGHADAPI PINTU. BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM KEMBALI TERDENGAR, MULA-MULA JAUH UNTUK KEMUDIAN MAKIN LAMA TERDENGAR JELAS.
BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM ITU SEPERTI BATANG-BATANG JARUM YANG BERJATUHAN DARI ATAS MENUSUK-NUSUK KEPALA MEREKA. HANUM KELIHATAN BERUSAHA MENAHAN KE TERSIKSAANNYA. TAJI MASIH TETAP BERDIRI KAKU MENGHADAPI PINTU. TAPI KALI INI JUSTERU TAJI YANG KELIHATAN LEBIH TERSIKSA. TANGAN TAJI YANG MENGGENGGAM PISAU TAMPAK MULAI GEMETAR. TAJI MULAI BASAH OLEH KERINGAT. EKSPRESINYA LAIN.
TAJI
Sudah selesai diam ku sekarang.
HANUM (Takut)
Biar aku simpankan kembali.
TAJI
Kita tidak boleh di rampok lagi.
HANUM (Takut)
Biar aku simpankan kembali.
TAJI
Mereka yang harus bayar sekarang. Aku sudah cukup sabar. Harus aku ambil hak aku sekarang. Biar mereka tahu siapa yang pengkhianat? Siapa yang mereka lawan seharusnya? Mereka harus tahu diri, siapa yang menjadikan mereka seperti sekarang? Kalau saja mereka sadar? Mereka tidak tahu apa-apa selama ini. Mereka fikir siapa aku? Tidak tahu sopan-santun! Karena aku mengikuti perintah tugas ku dulu lalu selamanya aku di anggap berbahaya? Aku tidak pernah berniat jadi tukang teriak-teriak untuk menyeret yang lain. Aku bukan pelacur pengecut! Aku masih tetap pada sumpah ku. Kalau aku mau sudah dari dulu aku bongkar semua! Sekarang mereka mau mulai lagi. Baik. Aku layani! Selamanya aku bukan yang mereka kira selama ini. Kalau aku diam selama ini juga karena permintaan mereka. Tetapi tetap saja mereka gelisah, itu di tunjukan dengan tindakan mereka selama ini. Selalu saja mereka tutupi kerakusan mereka dengan mengungkit-ungkit masa lalu aku. Tahu apa mereka semua? Tahu apa perakus-perakus itu? Benar-benar tidak punya moral! Gerombolan para bajingan pelahap yang haram! Generasi durhaka...!
TAJI KELIHATAN KELELAHAN. SEMENTARA WAKTU TAJI BICARA PANJANG TADI, HANUM BOLAK-BALIK MEMERIKSA JENDELA YANG ADA DI DALAM RUANGAN APAKAH MASIH ADA YANG TIDAK TERTUTUP RAPAT. HANUM KELIHATAN BERUSAHA MEYAKINKAN DIRINYA SENDIRI BAHWA TIDAK ADA ORANG LAIN YANG MENDENGAR TAJI BICARA PANJANG TADI.
HANUM KEMUDIAN TAMPAK MENGAMBIL SELEMBAR HANDUK LALU MENGELAP KERINGAT LEHER DAN TUBUH TAJI YANG KELELAHAN. SEMENTARA TAJI MASIH TETAP MENGGENGGAM PISAUNYA.
LAMPU PENTAS TIDAK BERUBAH WARNA.
HANUM
Biar aku simpankan kembali.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara)
HANUM (Khawatir-Mengingatkan)
Kita sudah buktikan kita bisa tidak punya pisau.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara)
HANUM (Khawatir-Mengingatkan)
Aku juga sudah memaafkan mereka.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara)
HANUM (Khawatir-Mengingatkan)
Kasihan mereka.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara)
HANUM (Khawatir-Mengingatkan)
Aku sudah tidak iri lagi.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara, Tapi Agak Menatap HaNUM)
HANUM (Sabar)
Ya. Aku mengerti.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara, Tapi Agak Menatap HanUM)
HANUM (Sabar)
Tidak. Kita bukan seperti yang mereka tuduhkan.
TAJI (Cuma Matanya Yang Bicara, Tapi Agak Menatap Hanum)
HANUM (Sabar)
Iya, iya... Mereka cuma menjalankan perintah. Seperti anak-anak kecil yang mendapatkan tugas dari guru sekolahnya.
TAJI (Bicara Tapi Tidak Terdengar Penonton)
HANUM (Membimbing Taji Duduk)
Tidak apa-apa, Pak. Kau memang pantas marah. Kau boleh marah kalau memang mau marah. Kau juga bisa diam seperti yang sudah kau perlihatkan selama ini kalau memang kau mau diam.
TAJI (Seperti Bicara Memotong)
HANUM
Ya? Bagaimana?
TAJI (Mengulang)
HANUM (Faham)
Oh.... begitu? Biarkan, Pak. Yang tertidur suatu saat pasti akan terjaga juga.
TAJI (Bicara. Tapi Suaranya Semakin Berat)
HANUM (Memberi Pengertian)
Tidak, Pak. Memang bukan kita yang bisa membangunkannya. Tapi waktulah yang pasti akan melakukannya.
TAJI (Membantah. Kelihatan Tidak Yakin-Curiga)
HANUM (Lebih Sabar)
Sang waktu tidak akan berfihak kepada siapa pun, Pak. Tidak juga kepada mereka. Jangan khawatir.
TAJI (Masih Tidak Yakin)
HANUM (Meneruskan)
Selama ini memang lambat sekali dia berputar kalau sedang bersama kita. Tapi dia masih tetap menghampiri kita. Paling tidak Itulah bukti kalau dia tidak pernah bisa di pengaruhi oleh mereka.
TAJI (Menanyakan Sesuatu Kepada Hanum)
HANUM (Tersenyum)
Tidak, Pak. Justeru aku memiliki segalanya yang kau berikan selama ini. Kita tidak semiskin seperti yang mereka kira? Kau tidak usah memikirkan soal itu. Aku tidak pernah merasa tersengsarakan selama ini bersama mu, Pak.
TAJI (Dengan Ekspresi Lain)
HANUM (Meyakinkan Taji)
Aku isterimu, Pak. Tuhan tahu ketika Dia berikan nafas kepadaku, itu untuk aku percayakan kepadamu. Dan kau sudah menjaganya dengan baik.
SENYUM PAHIT
TAJI (Kelihatan Sedikit Tenang)
HANUM
Kau suamiku.
UNTUK SEMENTARA HANUM BERHASIL MENENANGKAN TAJI. ATAU SEBALIKNYA JUSTERU HANUM BERHASIL MENENANGKAN DIRINYA SENDIRI. BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM KEMBALI TERDENGAR NORMAL. HANUM MEMBERIKAN AIR KEPADA TAJI.
TAJI MEMINUM AIR YANG DI BERIKAN HANUM DENGAN PISAU YANG MASIH TETAP TERGGENGGAM DI TANGANNYA. HANUM MEMANDANGINYA DENGAN IBA. MATA HANUM BERBICARA. KEMUDIAN HATINYA BERSUARA.
HANUM
Sekian lama aku menjaganya jangan sampai dia mengalami suasana hati seperti ini. Tapi malam ini tidak tahu kemana harus aku sembunyikan hatinya? Aku mencintainya, teramat sangat mencintainya. Malam ini tidak boleh ada yang mengambilnya. Siapapun saja. Apapun saja. Biarkan aku, biarkan aku....
(Diam Sesaat)
Dia masih tetap suamiku seperti yang dulu. Aku mau dia masih harus merayuku setiap malam sebelum hawa dingin akhirnya mengingatkan kami untuk segera tidur.
(Hanum Mulai Menangis)
Aku masih terus mau dia pandangi aku kalau tidak bisa memberikan uang belanja dapur kepada ku
(Diam)
Matanya.... tidak bisa aku tanpa matanya yang bicara setiap dia merasa iba kepada ku.
Tidak! Tidak apa pun yang boleh mengambilnya dari aku! Biarkan aku saja. Aku saja. Dia sudah pergi dulu. Dia di paksa pergi dulu. Sekarang dia tidak boleh pergi lagi.
Entah bagaimana dia tanpa aku? Tidak boleh lagi ada yang membawanya pergi sekarang. Tidak. Tidak juga dirinya sendiri. Biarkan aku saja. Aku saja. Dia sudah di buang oleh negeri ini. Negerinya sendiri. Negeri yang ikut dia bantu waktu lahir dulu. Sekarang kesombongan dan kebodohan bangsanya sendiri yang melumpuhkannya. Dia tidak bisa pergi kemana-mana sekarang. Dia memang cuma bisa pergi kepada ku.
(Meletakan Tangan Taji Ke Dadanya)
Tempatnya di sini.
TAJI (Tampak Pasrah. Pisau Di Tangannya Mulai Lemah Ia Genggam)
HANUM (Kepada Taji)
Biar aku simpankan kembali.
TAJI (Membiarkan Pisau Di Ambil Hanum Dari Tangannya. Sekarang Pisau Ada Pada Tangan Hanum )
HANUM (Meraih Kepala Taji Lalu Di Dekapkan Ke Dadanya. Hanum Berusaha Menenteramkan Taji Lebih Lagi)
Suamiku. Kau suamiku. Selamanya.
TAJI (Tampak Seperti Menemukan Sesuatu. Damai)
HANUM (Masih Menangis)
Biarkan aku saja, aku saja....
GEDORAN PINTU TIBA-TIBA. SUARANYA LEBIH KERAS. MAKIN LAMA MAKIN BRUTAL. KALI INI SUARA GEDORAN MENGESANKAN LEBIH DARI SATU ORANG YANG MELAKUKANNYA.
PADA PERISTIWA INI SEBAIKNYA LAMPU DI ATUR TERBAGI DUA. HANYA MENYINARI KEPADA DUA TOKOH YANG SEDANG BERMAIN DAN YANG MENGARAH KE PINTU SAJA. SEMENTARA YANG MENERANGI BAGIAN PANGGUNG LAIN DI PADAMKAN.
SUASANA KEMBALI TEGANG. BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM MAKIN CEPAT TEMPONYA. KEMUDIAN SUARA KERETA LEWAT CEPAT. LALU SUARA LANGKAH-LANGKAH KAKI TERBURU-BURU. HANUM KELIHATAN BERJUANG KERAS MENENTERAMKAN TAJI SAMBIL TETAP MENDEKAPKAN KEPALA TAJI KE DADANYA. MEREKA TIDAK BERSUARA.
TAJI (Matanya Saja)
HANUM (Matanya Saja)
TAJI (Menatap Hanum-Kemudian Memejamkan Matanya)
HANUM (Menatap Taji-Melihat Ke Arah Pintu-Kemudian Kepada Penonton-Lalu Air Matanya Jatuh)
Dia suamiku. Biarkan aku saja. Aku saja....
LAMPU GELAP PADA TAJI DAN HANUM. UNTUK KEMUDIAN DI ATAS PANGGUNG HANYA PINTU YANG TERUS DI GEDOR-GEDOR DENGAN BRUTAL YANG MASIH BISA DI LIHAT OLEH PENONTON. SEMAKIN LAMA BERTAMBAH KASAR. SAMPAI LAMPU PERLAHAN MENYUSUT JADI REMANG. KEMUDIAN PINTU YANG DI GEDOR PUN AKHIRNYA TERDOBRAK JUGA- BERBARENGAN DENGAN PADAMNYA LAMPU PADA PINTU. PANGUNG GELAP SAMA SEKALI. CUMA BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM MEMENUHI RUANGAN. MAKIN LAMA TEMPONYA TERDENGAR SEMAKIN CEPAT. SAMPAI TIBA-TIBA HILANG MENDADAK. PANGGUNG SEPI. TIDAK SATU PUN BUNYI. TIDAK SATU PUN. TIDAK SATU. TIDAK.
BAGIAN KE DUA
SEBELUM LAMPU MENYALA KEMBALI SEBAIKNYA BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM TIDAK DI PERDENGARKAN TERLEBIH DAHULU.
PADA BAGIAN KE DUA SANDIWARA INI PENONTON AKAN MENDAPATKAN PANGGUNG YANG MENGGAMBARKAN SEBUAH RUANGAN DALAM DARI SEBUAH RUMAH YANG SAMA YANG ADA PADA BAGIAN PERTAMA SANDIWARA INI. HANYA SAJA KONDISINYA YANG SUDAH BERUBAH SAMA SEKALI.
KETIKA LAMPU DI ATAS PANGGUNG PERLAHAN-LAHAN MULAI MENYALA KEMBALI, TAMPAK PINTU RUMAH YANG SUDAH TERGELETAK DI LANTAI PANGGUNG, JUGA KURSI DAN MEJA YANG SUDAH TIDAK LAGI BERATURAN BERADA PADA TEMPAT SEBELUMNYA.
TAJI SENDIRIAN REBAH DI LANTAI PANGGUNG DENGAN PISAU YANG BERDARAH TERGGENGGAM DI TANGANNYA.
SEMENTARA HANUM DUDUK DI SALAH SATU SUDUT PENTAS DI BAWAH TEMPAT TIDUR SAMBIL MEMELUK KEDUA LUTUTNYA YANG DI LIPAT KE ATAS DAN MENGGOYANG-GOYANGKAN BADANNYA KE DEPAN KE BELAKANG. BANYAK DARAH DI SEKITAR TAJI TAPI HANYA SEDIKIT PADA PAKAIAN HANUM.
BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM TERDENGAR MAKIN LAMA MAKIN MENDEKAT.
SUASANA PAGI TAPI BELUM TERLALU JADI.
HANUM (kosong. Bicara sendiri)
Selamanya tidak akan ada. Tidak akan ada....
Biasanya bulan meletakan sedikit cahayanya di sana ...
Gelap di luar. Belum tengah malam, belum tengah malam....
DI UCAPKAN BERULANG-ULANG. LAMPU PANGGUNG GELAP PERLAHAN.
BUNYI SUARA DETAK JARUM JAM DI ANTARA DIALOG HANUM.
LALU GELAP SE ISI RUANGAN.
S E L E S A I
Citayam, 16 Juni 2005.
Syaiful affair.
Langganan:
Postingan (Atom)